REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ekonom Didik J Rachbini juga menegaskan, kondisi perekonomian nasional ke depan memaksa pemerintah untuk realistis. Sebab, kata kader Partai Amanat Nasional (PAN) ini, pertumbuhan ekonomi pada 2016 nanti sulit untuk tumbuh rata-rata tujuh persen. Dibandingkan negara-negara lain sekawasan pun, menurut dia, ketahanan ekonomi Indonesia cukup lemah.
“Hampir seluruh negara Asia, kecuali Malaysia dan Indonesia, itu kondisinya relatif stabil, keadaan ekonominya. Misalkan Filipina, Korea, Singapura, India, Vietnam. Itu tidak mengalami depresiasi berat seperti kita dan Malaysia,” kata Didik J Rachbini di Cikini, Jakarta, Sabtu (31/10).
Oleh karena itu, Didik mematok angka realistis bagi asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5-5,2 persen. Namun, menurut dia, angka asumsi sebesar 5,3 persen yang sudah ditetapkan dalam APBN 2016 cukup bisa diterima. Akan tetapi, pemerintah perlu berupaya lebih keras lagi, khususnya dalam hal deregulasi, agar asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3 persen tercapai.
“Sekarang, birokrasi kita itu paling buruk di dunia. Ranking di lingkungan bisnis itu 120, 110, ranking bawah. Birokrasi itulah problem paling rumit. Itu diperbaiki,” kata Didik menegaskan.
Sehubungan dengan PMN, Didik mengakui kinerja Menteri BUMN Rini Soemarno kurang meyakinkan. Sebab, permintaan PMN yang diajukan Menteri Rini cenderung berfokus pada upaya menutupi kerugian BUMN-BUMN, alih-alih untuk mengerjakan proyek hajat hidup rakyat.
Karena itu, Didik melanjutkan, pengajuan PMN hanya akan wajar bila Kementerian BUMN sendiri sudah memiliki argumentasi yang jelas. “Tidak langsung ujug-ujug Rp 40 triliun. Apalagi, ada komplikasi politik antara Menteri BUMN dan partai, dan seterusnya. Itu jadi masalah,” ucap dia.
Dalam APBN 2016, PMN akhirnya tidak jadi disertakan. Pembahasan PMN akan dimunculkan kembali dalam APBNP 2016 mendatang. Didik menekankan, Komisi VI DPR dan juga fraksi-fraksi di parlemen tidak boleh menolak mentah-mentah pengajuan PMN. Sebab, ada cukup banyak BUMN yang memang memerlukan suntikan dana belanja negara agar proyek-proyek bisa berjalan.
“Untuk BUMN yang punya niat membangun proyek-proyek urgen, dibahas. Dan kalau itu sudah siap, dikucurkan. Ini (PMN) kan bukan halal-haram, (melainkan soal) efisien atau tidak efisien.”
Mantan ketua Komisi VI DPR itu menuturkan, penggelontoran PMN yang disetujui legislatif cukup banyak mubazir. Uang puluhan triliun rupiah, kata dia, tidak selaras dengan kebutuhan riil. Sehingga, dia menyarankan, Kementerian BUMN ke depannya agar membuat penjelasan yang transparan kepada publik terkait proyek-proyek BUMN yang perlu suntikan PMN. PMN jangan sampai digunakan hanya untuk mempertahankan BUMN-BUMN yang sekarat.
“Karena banyak dari pengalaman kita, PMN itu sebagian besar akal-akalan. Tapi sebagian, itu betul-betul untuk tujuan yang baik. Karena itu, di-hold tapi dibuka dengan sangat-sangat selektif.”