Selasa 27 Oct 2015 22:16 WIB

Membangun Nasionalisme dari Dapur

Rep: M. Akbar Wijaya/ Red: Dwi Murdaningsih
Pekerja memasang pipa distribusi gas milik Perusahaan Gas Negara (PGN) di Jalan Plumpang Semper, Jakarta Utara, Rabu (30/9)
Foto: Reno Esnir/Antara
Pekerja memasang pipa distribusi gas milik Perusahaan Gas Negara (PGN) di Jalan Plumpang Semper, Jakarta Utara, Rabu (30/9)

REPUBLIKA.CO.ID, Pemanfaatan gas untuk kebutuhan rumah tangga tidak hanya soal efisiensi ekonomi, tapi juga soal kedaulatan energi bangsa.

Sejak 10 tahun silam warga perumahan Taman Cimanggu Bogor lebih mudah dalam urusan memasak di dapur. Mereka tidak perlu lagi khawatir kehabisan gas saat memasak di malam hari. Mereka juga tidak perlu lagi mengeluarkan banyak biaya saat harus memasak dalam jumlah besar.

“Di sini sebagian besar pasang gas PGN,” kata Darsiyem (55 tahun) saat ditemui wartawan Republika.co.id M.Akbar Wijaya di perumahan Taman Cimanggu, Bogor Barat medio Oktober.

Gas alam mengalir dari perut bumi ke dapur-dapur warga Taman Cimanggu sejak 10 tahun silam. Ketika itu, sekira tahun 2004 warga serentak mendaftar menjadi pelanggan PGN. Mereka tertarik dengan tawaran kepraktisan dan biaya berlangganan bulanan yang lebih ekonomis dibandingkan gas tabung.

Aliran gas PGN punya manfaat besar bagi ibu rumah tangga yang menjalankan bisnis sambilan katering makanan seperti Darsiyem. Ini karena penggunaan gas PGN lebih praktis dan biayanya ekonomis.

Sebelum berlangganan gas PGN Darsiyem kerap kelimpungan saat persediaan gasnya habis di malam hari. Sebab jarang ada warung penjual gas buka selama 24 jam. Kalau pun ada, sangat sukar mencari orang yang mau mengantar gas tabung dengan berat total sekitar 37 kilogram ke rumahnya. Tapi setelah menjadi pelanggan gas PGN Darsiyem bisa memanfaatkan gas tanpa mesti khawatir kehabisan.

Darsiyem juga bisa berhemat banyak sejak berlangganan gas PGN. Ibu Darsiyem mengungkapkan dalam sebulan dia bisa menghabiskan dua tabung gas ukuran 12 kilogram untuk keperluan katering. Jika saat ini harga gas tabung 12 kilogram berkisar Rp 134.600 sampai Rp 136.000 maka ia mesti merogoh kocek sekitar Rp 269.200 sampai Rp 272.000 per bulan.

Tapi, selama 10 tahun berlangganan gas PGN Darsiyem tidak pernah menerima tagihan bulanan mencapai lebih dari Rp 100 ribu. “Paling mahal kalau sedang banyak pesanan makanan itu hanya Rp 90 ribu. Tapi kalau cuma untuk masak biasa hanya Rp 60 ribu atau Rp 40 ribu. Jauhlah selisih harganya,” ujar Darsiyem.

Siang itu Darsiyem tidak sendiri. Ia ditemani Ibu Akhim dan Ibu Bachtiar. Kepada Republika.co.id mereka ikut berbagi pengalaman. Ibu Akhim mengatakan nyala api kompor gas PGN tidak kalah dengan gas tabung. Untuk membuktikan pernyataannya, ia mengajak Republika melongok ke dapur rumahnya. Benar saja saat kompor dihidupkan tampak api berwarna biru menyala rata.

Menurut Ibu Akhim api biru yang menyala rata tidak hanya membuat waktu memasak lebih efisien, tapi juga membuat masakan matang sempurna. “Tuh kan liat sendiri apinya berwarna biru,” kata Ibu Akhim sembari memanaskan ikan sarden masakannya

Belasan tahun menjadi pelanggan gas PGN Ibu Akhim mengaku tidak pernah mengalami kendala berarti. Ia juga tidak pernah mendengar keluhan serius dari warga soal gas PGN. “Blok sini nggak ada masalah. Lancar-lancar saja,” ujarnya.

Lain orang lain pengalaman. Ibu Bachtiar mengatakan merawat gas PGN relatif gampang dan aman. Menurutnya pelanggan cukup membasahi pipa saluran gas dengan air busa sabun untuk mendeteksi kebocoran. Air busa sabun akan mengeluarkan gelembung-gelembung kecil jika terjadi kebocoran. Kalau sudah begitu, warga tinggal menelpon petugas PGN untuk memperbaiki.

Pada awalnya sempat ada warga di sekitar Perumahan Taman Cimanggu yang menolak menggunakan gas PGN. Kebanyakan mereka menduga gas PGN berbahaya. Namun belakangan begitu tahu dugaan mereka salah, banyak warga yang tadinya menolak malah justru bersama-sama ingin menjadi pelanggan. “Sekarang kampung-kampung sebelah pengen daftar,” kata Ibu Bachtiar.

Keinginan warga menikmati fasilitas gas bumi direspon cepat pihak PGN Kota Bogor. Akhir April 2014 lalu Manager Area Bogor PT PGN Tbk Yohanes Candra meresmikan instalasi jaringan gas bumi untuk 4.053 rumah tangga di wilayang Cibinong, Kabupaten Bogor. Yohanes mengatakan PGN siap menyalurkan gas untuk 10 sektor perumahan di kawasan Bogor. “Gas siap mengalir ke semua rumah itu,” kata Yohanes.

Upaya membangun jaringan instalasi gas bukan kerja gampang. PGN menggandeng Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membangun jaringan gas bagi warga Cibinong. Yohanes mengatakan sinergi antara PGN dan Ditjen Migas Kementerian ESDM terbukti efektif mempercepat perluasan pemanfaatan gas bumi untuk sektor rumah tangga.

Tak heran jika pada 19 Agustus 2015 lalu Menteri ESDM Sudirman Said secara resmi mempercayakan pengelolaan dan pengoperasian 43.334 gas sambungan rumah (SR) di 11 kabupaten/kota kepada PGN. Sebelas SR tersebut tersebar di Semarang 4000 SR, rumah susun Jabodetabek 5234 SR, Kabupaten Bogor 4000 SR, Kota Cirebon 4000 SR, Blora 4000 SR, Palembang 3311 SR, Surabaya 2900 SR, Depok 4000 SR, Tarakan, 3360 SR, Bekasi 4628 SR, Sorong 3898 SR.

Sekretaris PGN Pusat Heri Yusuf mengatakan instalasi jaringan gas PGN telah menyebar dari wilayah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Selain melayani kebutuhan rumah tangga jaringan pipa tersebut juga melayani kebutuhan industri.  “Ada 100 ribu rumah yang sudah mendapat layanan gas PGN,” ujarnya.

Pada akhirnya, kata dia pemanfaatan gas untuk kebutuhan rumah tangga tidak hanya soal efisiensi ekonomi, tapi juga wujud pembentukan nasionalisme dan kedaulatan energi bangsa. Dimana Indonesia merupakan salah satu negara dengan cadangan gas bumi  terbesar kedua di dunia. “Setahu saya gas tabung itu sebagian besar masih impor,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement