Rabu 21 Oct 2015 09:40 WIB

Ekonomi Melemah, Emil Salim: Jokowi Kena 'Sial' ketidakpastian Global

Prof. Dr Emil Salim saat menjadi salah satu pembicara dalam acara
Prof. Dr Emil Salim saat menjadi salah satu pembicara dalam acara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Begawan ekonomi, Emil Salim, mengatakan setahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, dalam sektor ekonomi lebih banyak terkena sial karena tekanan ketidakpastian ekonomi global.

"Agak sialnya karena Jokowi masuk saat badai ekonomi datang dari depan dan itu faktor eksternal," kata mantan menteri Era Orde Baru ini, Selasa (20/10).

Emil memperkirakan ketidakpastian ekonomi global, dan dampaknya terhadap Indonesia sebagai negara yang baru tumbuh (emerging market), masih akan berlangsung pada 2016. Oleh karenanya, menurut Emil, pemerintah harus fokus untuk membenahi imunitas ekonomi domestik.

Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Presiden era Susilo Bambang Yudhoyono itu, pemerintah ke depannya perlu meningkatkan secara signifikan kualitas pertumbuhan sektor riil. Dia meminta pemerintah untuk menaikkan alokasi anggaran untuk program dan investasi padat karya.

Selain itu, pemerintah juga harus membuktikan keseriusan membangun proyek-proyek infrastruktur dengan mempercepat realisasi proyek. Proyek infrastruktur tersebut, lanjutnya, akan menstimulus sektor riil, dengan membuka banyak lapangan kerja.

Selain sisi fiskal, Emil juga meminta Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan (BI Rate). Hal ini, kata Emil, penting bagi konsumsi masyarakat dan kinerja dunia usaha. Untuk dunia usaha, keringanan bunga acuan yang akan diikuti dengan penurunan bunga perbankan, bisa mengurangi ongkos produksi dan akan berimbas pada peningkatan daya saing barang hasil produksi.

"Besarannya bisa bertahap. Waktu eranya Darmin Nasution (Mantan Gubernur BI) besarannya ke arah 5 persen. Zamannya Gubernur BI sekarang Agus Martowardojo 7,5 persen. Saya kira masa Darmin itu bunga masih bisa dipertangungjawabkan," ujarnya.

Menurut Emil, kondisi makro ekonomi sekarang pun cukup memungkinkan untuk penurunan bunga acuan. Inflasi inti (core inflation) yang menjadi fokus perhatian otoritas moneter, cukup terkendali.

Selain itu, Emil juga tidak sepenuhnya sependapat jika kekhawatiran potensi melimpahnya dana keluar menjadi alasan BI untuk tidak menurunkan bunga acuan. Menurutnya, dana masuk dan dana keluar dalam konteks perekonomian saat ini, lebih karena kondisi ekonomi global.

"Jika pull factor (faktor penarik dari luar) bekerja, insentif domestik tidak akan menarik. Itu pertama. Kedua, suku bunga acuan perlu mendorong perekonomian domestik," katanya.

 
 
 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement