REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengembangan industri baja di Indonesia masih terkendala keterbatasan bahan baku dan energi. Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Iskandar Zulkarnain menilai Indonesia tidak memiliki bijih besi kadar tinggi dalam jumlah memadai untuk bahan baku baja. Hal tersebut dapat menghambat pembangunan sektor industri baja nasional. Namun, keterbatasan bijih besi ini bisa teratas salah satunya dengan pemanfaatan bijih besi (nikel) laterit.
"Indonesia memiliki kandungan nikel laterit cukup tinggi," kata Iskandar, Selasa (20/10).
Kebutuhan baja di Indonesia diperkirakan terus naik mencapai 20 juta ton per tahun pada 2020 mendatang. Kepala Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI, Andika Widya Pramono menambahkan endapan bijih laterit merupakan lapisan atas dari bijih nikel. Lapisan ini mengandung besi lebih tinggi dan nikel lebih rendah. Cadangan bijih jenis ini, kata Andika akan menghasilkan baja dengan kandungan nikel antara satu hingga tiga persen.
"Kandungan sebesar itu cukup tinggi menghasilkan baja berkualitas baik yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia," ujar Andika.
Pengembangan bijih laterit ini akan mendorong kemandirian industri baja di Indonesa. Negara ini juga berpeluang bersaing dengan pasar global. Cadangan bijih jenis ini jauh lebih banyak dair bijih nikel kadar tinggi dimana jumlahnya diperkirakan mencapai miliaran ton.
Baja dari bijih laterit ini, kata Andika juga bisa berkontribusi untuk eksor Indonesia. LIPI bekerja sama dengan BUMN PT Krakatau Steel telah menghasilkan prototipe baja laterit semiindustri. Pengerolannya hingga menjadi produk akhir berupa batang baja dilakukan oleh anak perusahaan Krakatau Steel, PT Krakatau Wajatama.