REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah gagal mewujudkan desentralisasi fiskal dalam rancangan anggaran dan pendapatan belanja (RAPBN) 2016. Dalam postur sementera RAPBN 2016, belanja kementerian/lembaga (K/L) tetap lebih besar dari belanja daerah (dana transfer ke daerah dan dana desa).
Sejak awal penyusunan draf RAPBN 2016, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro selalu menggembor-gemborkan bahwa RAPBN 2016 akan lebih memihak ke daerah. Hal tersebut diupayakan dengan membuat belanja daerah lebih besar dari belanja K/L.
Tadinya, belanja daerah dialokasikan Rp 782,2 triliun. Sedangkan belanja K/L Rp 780,4 triliun. Tapi sekarang, belanja daerah diusulkan turun menjadi Rp 770,2 triliun. Adapun belanja K/L naik menjadi Rp 784,1 triliun.
Direktur Penyusunan APBN Kementerian Keuangan Kunta Wibawa Dasa Nugraha mengatakan, penurunan belanja daerah harus mengalami penurunan karena adanya perubahan beberapa asumsi seperti harga minyak dan lifting minyak. Akibatnya, dana bagi hasil pun berkurang.
Sedangkan belanja K/L mengalami kenaikan karena adanya penambahan dana belanja mendesak dan belanja prioritas. Belanja mendesak itu dialokasikan kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga sebesar Rp 500 miliar untuk merenovasi Stadion Gelora Bung Karno dalam rangka persiapan Asian Games 2018.
Kunta mengatakan, penurunan belanja daerah bukan berarti pemerintah khususnya Kementerian Keuangan tidak memiliki komitmen untuk mewujudkan desentralisasi fiskal. "Semangatnya tetap ada, karena sekarang selisih antara belanja daerah dengan belanja K/L mengecil drastis," kata Kunta kepada Republika.co.id, Senin (19/10).
Dijelaskan Kunta, belanja daerah pada tahun depan selisihnya hanya sekitar Rp 14 triliun. Jumlah itu jauh lebih kecil dibanding pada APBN Perubahan 2015 yang memilii selisih Rp 130 triliun. "Ini membuktikan komitmen ke daerah tetap besar," ujarnya.