REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda rencana pemberlakuan pengampunan pajak atau pengesahan RUU Pengampunan Nasional. Indonesia dinilai belum siap menerapkan pengampunan pajak.
Direktur CITA Yustinus Prastowo menjelaskan, pengampunan tersebut baru bisa dijalankan apabila pemerintah sudah dapat menggunakan kewenangan memungut pajak sesuai Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan dan Automatic Exchange of Information. Menurutnya, dua hal tersebut yang akan membuat Indonesia mampu menangkal praktik penghindaran pajak agresif dan pertukaran data otomatis dengan negara lain.
"Pengampunan pajak baru akan optimal diberlakukan pada 2017-2018. Kalau sekarang kita belum memiliki data akurat dan juga administrasi yang baik, " ujarnya, Senin (12/10).
Selain itu, kata dia, kebijakan pengampunan pajak juga harus disertai amandemen UU Perbankan yang memastikan akses pajak ke data perbankan dipermudah. Akan percuma apabila Ditjen Pajak tidak memiliki akses ke perbankan.
Perbaikan infrastruktur dan administrasi pengawasan pasca-pengampunan juga harus dilakukan agar dapat menjamin kepatuhan pajak dan peningkatan penerimaan pajak di masa mendatang.
Yustinus pun berharap pemerintah dan DPR dapat mempersempit cakupan pengampunan hanya untuk pidana pajak demi kepastian hukum dan terhindarnya moral hazard untuk impunitas.
Cakupan pengampunan pidana pajak yang ditujukan selain untuk kasus narkoba, terorisme, dan perdagangan manusia berpotensi menimbulkan persoalan sosial-politik yang luas. "Khususnya pelemahan gerakan anti korupsi," ujar Yustinus.