REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Iman Sugema mengatakan, depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang melanda Indonesia sejatinya bukan fenomena baru.
Ia mencontohkan, pada periode Agustus 2008 hingga Maret 2009 lalu, Indonesia mengalami depresiasi rupiah, namun hanya berlangsung relatif singkat dan penyebabnya lebih kepada krisis keuangan global.
Sedangkan yang terjadi saat ini, sejak periode September 2011 hingga sakarang, ia mengatakan, agak berbeda karena cenderung berkepanjangan dan penyebabnya tidak hanya faktor eksternal melainkan juga internal.
"Depresiasi yang berkepanjangan biasanya lebih terkait dengan perubahan struktur fundamental nilai tukar yaitu Balance of Payment (BOP) atau neraca pembayaran," ujarnya dalam diskusi Bisnis dan Ekonomi Politik di Kantor Indef, Jalan Batu Merah No.45 Pejaten Timur, Jakarta Selatan, Rabu (7/10).
Ia menilai, faktor eksternal hanya sebagai tambahan yang membuat keadaan menjadi lebih buruk.
Soal faktor internal, Iman menegaskan, ada dua hal yang menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin memburuk yaitu defisit migas yang terjadi sejak September 2011 dan kesalahan strategi Bank Indonesia (BI) dalam mengelola nilai tukar rupiah.
"Defisit migas terus memburuk dan mengakibatkan tekanan yang semakin sulit terhadap BOP," lanjutnya.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan melalukan percepatan konversi BBM ke BBG untuk pembangkit listrik dan transportasi serta konversi BBM ke batubara untuk listrik dan industri.