REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah sudah mengeluarkan paket kebijakan II untuk merespon lesunya ekonomi nasional. Namun, isi paket kebijakan II yang diumumkan pada Selasa (29/9), berbeda dengan paket kebijakan ekonomi I. Dimana kali ini, Pemerintah fokus di investasi dan Industri.
Paket kebijakan II berisi sejumlah perizinan yang mempercepat pengurusan tax holiday dan tax Allowance dimana prosesnya tidak sampai dua bulan. Serta tidak dikenakannya Pajak Pendapatan Nilai (PPN) bagi alat transportasi terutama galangan kapal, kereta api dan pesawat beserta suku cadangnya.
Kendati demikian menurut pengamat ekonomi Universitas Indonesia Riant Nugroho paket kebijakan II masih akan menghadapi tantangannya tersendiri. Terlebih lagi saat berbenturan dengan kebijakan yang kontraproduktif.
“Fokusnya industri besar itu sudah benar, tinggal tantangannya yaitu kita mempunyai kebijakan yang kontradiktif. Satu sisi ada kemudahan investasi yang dibuka luar biasa besar, namun disisi lain bidang pekerjaan tidak menguntungkan industri, juga perpajakan dan proses bisnis,” jelas Riant Nugroho saat dihubungi Republika, Rabu (30/9).
Dia mencontohkan dengan munculnya e-faktur dimana semua transaksi bisnis harus menggunakan e-faktur. Kata dia demgan begitu maka seluruh transaksi bisnis akan bisa dikontrol oleh Dirjen pajak sehingga tidak melenceng pajaknya.
“Sehingga, kebijakan membuka industri dan investasi akan terkendala oleh kebijakan yang kontra produktif, terutama berhubungan dengan e-faktur, dan ketenagakerjaan” jelasnya.
Selain itu terkait percepatan perizinan yang juga terdapat dalam paket kebijakan II, kata Riant ada kemungkinan mengalami hambatan saat dibenturkan dengan kebijakan otonomi daerah. Bahakan tak menutup kemungkinan adanya money politic dalam percepatan perizinan tersebut.