REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deklarasi Ekspor dikhawatirkan menjadi celah yang memungkinkan terhambatnya penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Akibatnya, produk kayu yang belum terverifikasi legalitasnya dapat diekspor dengan mudah.
"Terlepas dari semangat pemberlakuan deklarasi tersebut untuk mendukung industri kecil, jangan sampai mengorbankan penerapan SVLK," kata Forest Commodities Market Transformation Leader WWF Indonesia Aditya Bayunanda pada Selasa (29/9).
Ia menilai, SVLK saat ini merupakan alat paling inovatif yang telah dikembangkan di Indonesia untuk memerangi penebangan liar. Karena itu, seharusnya dapat dicari solusi dengan menyertakan eksportir skala kecil ke dalam sistem SVLK. Dengan begitu, manfaat Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) dari Uni Eropa melalui Voluntary Partnership Agreement (VPA) yang telah diterapkan bertahun-tahun juga bisa dirasakan oleh pengusaha kecil.
Dalam ketentuan VPA, Indonesia hanya akan mengekspor ke negara-negara Uni Eropa produk-produk kayu legal yang telah terverifikasi dan berlisensi FLEGT. Sementara, SVLK telah disepakati akan menjadi lisensi FLEGT. Lisensi FLEGT menjamin bahwa kayu dari negara-negara VPA dipanen, diproses dan diekspor dengan menaati semua peraturan perundangan nasional yang berlaku.
Dari enam negara yang saat ini telah menandatangani VPA, Indonesia merupakan satu-satunya negara dari Asia. Keenam negara tersebut saat ini sedang mengembangkan sistem yang diperlukan untuk mengontrol, memverifikasi dan memberikan lisensi bagi kayu legal.
Deklarasi Ekspor, lanjut dia, tampak menjanjikan kemudahan bagi sebagian eksportir produk kayu. Namun ia juga mengancam kesempatan Indonesia sebagai negara pertama yang menyediakan produk kayu berlisensi FLEGT di pasar Eropa.
Deklarasi Ekspor merupakan celah yang menyebabkan eropa mengisyaratkan mundur untuk memberi pengakuan terhadap SVLK Indonesia sebagai syarat untuk mendapatkan kemudahan khusus di pasar negara anggotanya.
Penggunaan SVLK dari tahun ke tahun menunjukkan tren peningkatan. Pada 2013, penggunaannya sebesar 6 miliar dolar AS.
"Hingga Agustus 2015 saja penggunaannya telah mencapai nilai 7,1 milliar dollar AS," ujarnya. Nilai tersebut masih unggul dibanding nilai Deklarasi Ekspor yang hanya sebesar 140 juta dollar AS. Deklarasi ersebut pun tak patut dipertahankan.