Senin 28 Sep 2015 23:07 WIB

Pengamat: Volatilitas Rupiah Semakin Membaik

Rep: Binti Sholikah/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
 Pedagang membawa spanduk bertuliskan Save Rupiah di Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah, Kamis (12/3).  (Antara/Yusuf Nugroho)
Foto: Antara/Yusuf Nugroho
Pedagang membawa spanduk bertuliskan Save Rupiah di Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah, Kamis (12/3). (Antara/Yusuf Nugroho)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah masih terdepresiasi mendekati Rp 14.700 per dolar AS setelah keputusan the Fed yang menahan suku bunga acuan.

Berdasarkan Blooomberg Dollar Index,  rupiah ditutup di level Rp 14.689 per dolar AS pada Senin (28/9), menguat 0,03 persen atau 4 poin dari penutupan Jumat (25/9) di level Rp 14.693 per dolar AS. Sedangkan berdasarkan kurs tengah Jisdor, rupiah di level Rp 14.696 per dolar AS pada Senin, melemah 6 poin dibandingkan Jumat di level Rp 14.690 per dolar AS.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, keputusan the Fed menahan suku bunga berarti masih ada ketidakpastian yang menggantung. Hal itu yang membuat mata uang negara emerging market kecenderungannya melemah, termasuk rupiah.

David mengakui kecenderungan rupiah sekarang makin melemah. Tetapi volatilitasnya justru semakin membaik. Volatilitas rupiah saat ini di bawah 0,5 persen. Menurutnya, penting para pebisnis melihat volatilitas nilai tukar, jika naik turun susah diprediksi.

Dia menilai kondisi saat ini volatilitas oke tapi kecenderungan masih melemah, karena masih ada ketidakpastian soal the Fed. "Kalau dari sisi volatilitas grafiknya makin membaik, tidak terlalu volatile tapi memang melemah, turunannya atau deviasi simpangannya makin bagus dibandingkan akhir tahun lalu," jelasnya saat dihubungi Republika, Senin (28/9).

David menyebutkan, banyak negara yang depresiasi nilai tukarnya lebih lemah dari Indonesia. Di antaranya, mata uang Brasil melemah lebih dari 30 persen (ytd), Afrika Selatan 17 persen (ytd), Malaysia 20 persen (ytd). Sedangkan Indonesia, rupiah terdepresiasi 15 persen (ytd). Negara lain seperti India, Singapura dan Filipina depresiasinya cukup kecil, masing-masing 5 persen, 7 persen dan 6 persen.

Menurutnya, saat ini kondisi mata uang negara emerging market semuanya sama. Meskipun India dan Singapura pelemahannya tidak terlalu dalam. Hal itu memperlihatkan sebenarnya para pelaku pasar menilai India dan Filipina telah berhasil melakukan reformasi struktural.

Di India misalnya, aliran modal langsung (foreign direct investment/FDI) masuk cukup deras. Karena India fokus di bidang teknologi dan infrastruktur. Sedangkan Filipina fokus di sektor jasa.

Indonesia dinilai belum memiliki fokus sektor mana yang akan diunggulkan dibandingkan negara lain. Misalnya, Indonesia bisa fokus pada sektor pariwisata. Untuk itu, di daerah-daerah perlu dilakukan perbaikan infrastruktur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement