REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Perdagangan harus berhati-hati dalam melonggarkan aturan pendirian toko ritel modern (minimarket). Pasalnya aturan ini berhadapan pada risiko yang menghantui matinya warung-warung kecil dan pasar tradisional.
Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Akhmad Akbar Susamto mengatakan pemerintah perlu mengingat bahwa yang menjaga perekonomian Indonesia agar tetap bergerak saat krisis adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). “Sayangnya saat pemerintah ingin memperbaiki deregulasi untuk perbaikan ekonomi, justru mereka dikorbankan,” ucapnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (22/9).
Pelonggaran pendirian minimarket, kata Akhmad, tidak memberi nilai tambah atau kontribusi terhadap perekonomian Tanah Air. Justru dia khawatir ada pihak-pihak yang membonceng rencana yang katanya berbekal dengan semangat deregulasi ini. “Bahaya kalau terus dibiarkan,” ucapnya.
Harus dipastikan bahwa deregulasi tersebut konsisten dengan tujuannya untuk meningkatkan daya saing industri Indonesia sesuai semangat Nawacita dan Trisakti yang diagungkan Presiden RI Joko Widodo. Perlu dijaga hati-hati agar deregulasi tidak berorientasi jangka pendek dan hanya sekadar mengerjar kebutuhan jangka pendek semata.
“Deregulasi harus dijaga supaya tidak memunculkan kepentingan lain yang membonceng aturan tersebut,” kata Akhmad.
Aturan yang hendak dikeluarkan Kementerian Perdagangan perlu ditinjau lagi satu per satu. Menurut dia, ada aturan-aturan yang perlu diubah, ada aturan yang tidak perlu diubah, dan ada aturan yang harus semakin ditegaskan. Salah satu contoh aturan Kemendag yang menurutnya tidak konsisten yakni dalam mempermudah impor.
Saat ini Indonesia ingin membangun infrastruktur. Untuk melakukan itu,kita membutuhkan banyak besi dan baja. Harusnya hal ini memacu Indonesia untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Namun nyatanya, Kemendag malah memudahkan impor dan baja.
“Jadi tidak sesuai dengan Nawacita, Trisakti, dan agenda jangka panjang untuk memperbaiki sinergi pemerintah,” ucapnya.