Rabu 23 Sep 2015 06:25 WIB

Data Peningkatan Produksi Beras tak Jamin Petani Sejahtera

Rep: Sonia Fitri/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
 Petani sedang mengumpulkan padi yang mengalami kekeringan di Kampung Setu, Bekasi Barat, Kamis (30/7).  (Republika/Tahta Aidilla)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Petani sedang mengumpulkan padi yang mengalami kekeringan di Kampung Setu, Bekasi Barat, Kamis (30/7). (Republika/Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peningkatan produksi beras sebagaimana disebut dalam angka ramalan (aram) setiap semester per tahun tak menjamin petani ikut sejahtera. Data Survei Pendapatan Rumah Tangga Pertanian (SPP) 2013 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rata-rata seluruh pendapatan rumah tangga usaha pertanian (RTUP) hanya Rp 2,2 juta per bulan. Sedangkan dari usaha pertanian hanya Rp 1 juta per bulan.

"Jenis usaha pertanian kebanyakan berskala kecil," kata Kepala BPS Suryamin dalam seminar nasional Hari Statistik 2015 bertajuk "Peningkatan Kinerja Pertanian Indonesia Menuju Kedaulatan Pangan," pada Selasa (22/9). Meskipun secara kuantitatif luas tambah tanam meningkat, namun secara kualitatif terjadi penurunan sepanjang periode 2004-2013.

Melihat sebaran wilayahnya, sebagian besar kemiskinan multidimensi, termasuk disumbang dari pertanian kebanyakan berada di wilayah timur Indonesia. Itu semua akibat kesenjangan antarprovinsi di Indonesia dalam hal akses terhadap kebutuhan dasar terutama pendidikan, kesehatan, dan standar hidup. Secara umum indeks ketahanan pangan (IKP) Kawasan Timur Indonesia masih tertinggal dari nilai IKP di kawasan barat.

Kepemilikan lahan oleh RTUP, lanjut Suryamin juga memengaruhi pendapatan petani. Dalam banyak kasus, petani tidak memiliki agunan untuk maksud meminjam modal dari bank, maka petani lebih memilih meminjam uang ke tengkulak atau rentenir dan terjebak dengan pemberian bunga yang jauh lebih tinggi.

"Tapi sebagian besar tanah yang dimiliki petani hanya berupa girik atau akta jual beli notaris PPAT," katanya. Hanya kurang lebih seperlima RTUP yang sudah mempunyai sertifikat hak milik (SHM), sertifikat hak guna bangunan (SHGBL), dan sertifikat lainnya. Bahkan lebih dari sepertiga lahan yang dimiliki RTUP tidak memiliki surat bukti kepemilikan.

Pengamat ekonomi pertanian yang merupakan peneliti seenior International Center for Applied Finance and Economics (InterCafe) Institut Pertanian Bogor (IPB) Bustanul Arifin menyebut pangsa sektor pertanian saat ini semakin menurun. Penurunan baik dari segi ketenagakerjaan maupun produksi dalam produk domestik bruto (PDB).

"Faktor push yang jadi penyebabnya, ia berpengaruh buruk dan memicu masyarakat petani meninggalkan sektor ini," kata dia. Lebih lanjut ia melihat telah terjadi fenomena deindustrialisasi yang belum mampu mengangkat kehidupan ekonomi para petani.

Ia menambahkan, wacana impor beras dalam waktu dekat yang direncanakan pemerintah membuat ia mempertanyakan keberadaan produksi beras yang dikabarkan surplus. "Kalau mau impor, berarti itu barang di mana," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement