Selasa 15 Sep 2015 23:49 WIB

Menkeu: Kelesuan Ekonomi Global Hingga Akhir 2015

 Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memberikan sambutan dalam Seminar Pendalaman Sektor Keuangan di Jakarta, Senin (7/9).
Foto: Republika/Prayogi
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memberikan sambutan dalam Seminar Pendalaman Sektor Keuangan di Jakarta, Senin (7/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan kelesuan yang terjadi pada perekonomian global akan terus berlanjut. Ini terjadi karena masih ada ketidakpastian dan risiko yang melanda dunia hingga akhir 2015.

"Yang boleh disimpulkan adalah sampai akhir tahun 2015, memang belum kelihatan ada perbaikan signifikan," katanya dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Selasa (15/9) malam.

Menkeu menjelaskan perekonomian global saat ini benar-benar mengalami kelesuan, karena negara berkembang yang selama ini menjadi penyangga perekonomian dunia ikut mengalami perlambatan, seperti yang dialami negara maju.

"Kalau pada 2011-2012 semua bilang 'emerging market' menyelamatkan dunia, sekarang malah banyak problem di 'emerging market' terutama setelah 'quantitative easing' berhenti. Brasil dan Rusia bahkan kontraksi dan tumbuh negatif ekonominya," katanya.

Menurut dia, perekonomian global saat ini berbeda dengan 20 tahun yang lalu, karena pada kondisi sekarang guncangan maupun risiko sekecil apapun bisa berpengaruh dan menyebar ke berbagai negara dalam waktu singkat. Salah satu risiko tersebut adalah terjadinya depresiasi mata uang terhadap dolar AS yang hampir dialami negara maju maupun negara berkembang akibat belum adanya kepastian dari waktu penyesuaian suku bunga The Fed (Bank Sentral AS).

Risiko lainnya, lanjut dia, adalah harga komoditas global yang belum menunjukkan adanya tanda-tanda kenaikan hingga pertengahan 2015, terutama harga minyak dunia yang terus jatuh dan berpotensi mengganggu perekonomian di Timur Tengah. "Harga komoditas kalau kita berharap membaik, akan sulit. Goldman Sachs bahkan memprediksi harga minyak bisa turun hingga 20 dolar per barel. Kalau terjadi, otomatis harga komoditas terbawa turun. Tentunya ini menjadi perhatian di sisi penerimaan dan secara umum untuk ekspor," ujar Menkeu.

Risiko terbaru adalah aksi devaluasi Yuan dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja ekspor dan mendorong pertumbuhan ekonomi Tiongkok, yang berpotensi diikuti oleh negara-negara lain untuk saling melemahkan mata uangnya.

"Kalau negara-negara saling berlomba-lomba melakukan devaluasi, ekspor kita makin berat. Memang dalam konteks globalisasi, makin sulit negara mengisolasi dirinya dari berbagai dampak yang sedang terjadi di global," kata Menkeu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement