REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan perlambatan ekonomi cukup memukul bisnis ritel di Indonesia. Aprindo pun akhirnya memangkas proyeksi pertumbuhan bisnis ritel pada tahun ini dari 13-15 persen dengan omset Rp 184 triliun menjadi delapan persen.
Roy mengatakan pertumbuhan bisnis ritel seperti swalayan dan minimarket biasanya tumbuh tiga kali lipat dibanding pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, di tengah menurunnya daya beli masyarakat, akan cukup sulit mempertahankan pertumbuhan tersebut. "Bisa tumbuh 8 persen saja sudah bagus," kata Roy kepada wartawan di kantor BPS, Senin (14/9).
Faktor lain yang memukul bisnis ritel adalah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sekarang berada di kisaran Rp 14,200 per dolar AS. Sebab, ujar dia, para produsen masih sangat banyak yang menggunakan bahan baku impor untuk keperluan produksi.
"Untuk pakaian, kapas itu kita masih impor. Begitu juga kedelai untuk membuat tempe pun impor. Substitusi impor harus benar-benar dipikirkan oleh pemerintah," ujar dia.
Roy mengatakan bisnis ritel cukup terbantu pada kuartal kedua karena adanya momen puasa dan lebaran sehingga konsumsi masyarakat sedikit naik. Namun ia khawatir konsumsi masyarakat akan menurun drastis pada kuartal tersisa ini.
"Kemarin (hari raya Idul Fitri) kami terbantu karena konsumen punya uang lebih dari tunjangan hari raya (THR). Tapi setelah itu turun lagi," ungkapnya.
Meski bisnis ritel terganggu dengan adanya perlambatan ekonomi, Roy mengaku bahwa belum ada anggota Aprindo yang mengalami kebangkrutan. Menurutnya, bisnis ritel masih bisa bertahan mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia didominasi oleh konsumsi masyarakat. "Belum ada laporan PHK. Paling hanya efisiensi jam kerja," ucap dia.