Senin 14 Sep 2015 17:00 WIB

Supaya Nasabah tidak Dirugikan Lagi

 Pekerja melintas saat melakukan aktivitas di kantor Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Jakarta, Kamis (6/8).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Pekerja melintas saat melakukan aktivitas di kantor Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Jakarta, Kamis (6/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pernah mengalami satu periode negatif pada masa pemerintahan sebelumnya. Ketika itu, gonjang-ganjing krisis mengancam Indonesia. Itu terkait dengan skandal dana talangan (bailout) Bank Century senilai Rp 6,7 triliun pada November 2008. Dana sebesar itu dikucukan dalam bentuk  penyertaan modal sementara (PMS) yang disalurkan dalam kurun waktu delapan bulan.

PMS merupakan tata cara penanganan terhadap bank gagal yang dilakukan  Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK). Padahal, bank yang dimiliki Robert Tantular itu hanya perlu mengajukan pinjaman sebesar Rp 1 triliun hingga dalam  pengawasan khusus Bank Indonesia. Dampak dari kejadian itu, nasabah dirugikan karena dana yang tersimpan tidak bisa diambil sewaktu-waktu ketika mereka ingin menariknya.

Kasus tersebut memang sudah masuk ke ranah hukum, dan hukum memang harus ditegakkan. Pun dengan pengadilan juga sudah menjatuhkan vonis ke para pelaku yang terlibat dalam merugikan keuangan negara.

Apalagi, LPS menyatakan bahwa pengejaran aset dari kasus Bank Century masih berlangsung dan belum membuahkan hasil. Direktur Eksekutif Hukum LPS Robertus Bilitea mengatakan, total aset yang dikerjar LPS pada kasus Bank Century adalah sekitar 56 juta dolar AS di Swiss dan 6,5 juta dolar AS di Hong Kong. Nyatanya, belum sepeser pun aset yang dikejar itu masuk ke kas pemerintah.

Meski tidak terlibat secara langsung, mengutip pernyataan anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo, LPS disebut-sebut memiliki peran 'pembantu' dalam kasus itu. Tidak salah, Timwas Century yang terdiri berbagai politisi di DPR dapat dengan mudah menjadikan LPS sebagai sasaran kambing hitam atas kasus pembengkakan dana talangan Bank Century. LPS tentu tidak ingin kasus tersebut terulang kembali bukan?

Hal itu juga menjadi harapan kita bersama agar masalah Bank Century menjadi kasus terakhir yang merugikan nasabah. Tidak ada salahnya bagi LPS untuk menjadikan peristiwa itu sebagai momen untuk membenahi organisasi demi perbaikan kinerja ke depan.

Tingkatkan pengawasan

Pada usianya yang akan memasuki satu dasawarsa, sudah banyak pencapaian yang dilakukan LPS dalam menjalankan fungsinya selaku lembaga independen penjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Pada awalnya, LPS hanya menjamin nilai simpanan maksimum nasabah sebesarp Rp 100 juta per bank. Nominal itu melonjak drastis ketika terjadi krisis global pada 2008, di mana nilai simpanan yang dijamin menjadi Rp 2 miliar. Aturan tersebut berlaku hingga kini.

Harus diakui, keberadaan LPS sangat bermanfaat bagi nasabah perbankan Indonesia. Pengalaman krisis moneter pada 1998 menunjukkan, tiadanya penjaminan maksimum membuat penarikan uang terjadi secara besar-besaran akibat dilanda kepanikan. Kondisi itu sekarang ini kemungkinan kecil terjadi, meski bisa saja terulang. Walaupun negara dalam kondisi krisis ekonomi, masyarakat tidak perlu lagi khawatir lantaran uangnya tetap aman dijamin LPS.

Saat ini, kondisi perekonomian Indonesia sedang mengalami penurunan. Hal itu juga diikuti dengan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sudah menyentuh angka Rp 14.300. Level tersebut merupakan titik terendah dalam 18 tahun terakhir. Mengacu indikasi makro ekonomi, LPS tidak boleh menganggap remeh memburuknya perekonomian Indonesia.

Plt Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan mengakui, hasil uji ketahanan (stress test) mengenai ketahanan menunjukkan kondisi perbankan masih sehat. Kesehatan perbankan masih lebih baik dibandingkan pada 2008. Perbankan masih dapat menghadapi kondisi nilai tukar dan tekanan ekonomi seperti sekarang.

Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah soal persepsi masyarakat. Saat ini, ada kabar beberapa nasabah yang secara sadar menukarkan mata uang rupiah untuk membeli dolar AS dalam jumlah tertentu. Hal itu menunjukkan adanya antisipasi yang dilakukan nasabah ketika nilai tukar rupiah semakin terpuruk terhadap dolar AS.

Mereka tentu masih memiliki pengalaman berharga atas kejadian anjloknya nilai tukar rupiah saat krisis 1998, yang diikuti penarikan dana dari bank secara besar-besaran. Di sinilah perlunya peran LPS dalam memberikan pengertian kepada nasabah untuk tetap mempercayakan simpanannya di bank.

LPS perlu gencar untuk menginformasikan kepada nasabah tentang jaminan keamanan uangnya di bank. LPS di sini bisa berperan lebih meningkatkan fungsi pengawasan agar tidak timbul kekhawatiran secara bersama-sama dalam benak nasabah.

Kalau nilai tukar rupiah terus terdepresiasi, bukan tidak mungkin semakin banyak orang yang malas untuk  

menyimpan uangnya di bank. Pikir mereka, daripada uangnya berkurang kalau dikurskan dengan dolar AS, lebih baik ditukarkan saja dengan mata uang negeri Paman Sam tersebut.

Utamakan perlindungan

Soal perlindungan ini merupakan faktor utama bagi nasabah untuk tetap mempercayakan dananya diparkir di bank. Edukasi psikologis untuk meredam kekhawatiran mulai harus dipikirkan LPS. Gejolak dan efek bola salju tidak boleh sampai terjadi. Ketenangan psikologi nasabah harus dijaga.

LPS dapat mengambil inisiatif untuk tetap menjaga kepercayaan nasabah terhadap perbankan Indonesia. Hal itu juga terkait dengan roda perekonomian Indonesia. Kalau tiba-tiba ada penarikan uang secara bersamaan, tentu kejadian itu tidak baik bagi perbankan pada khususnya, dan perekonomian Indonesia pada umumnya.

Sebagaimana diketahui, profil nasabah perbankan Indonesia didominasi kalangan menengah ke bawah. Data LPS pada April lalu menunjukkan, jumlah nasabah dengan nilai sampai dengan Rp 2 miliar mencapai 161.490.473 rekening. Angka total simpanan yang meliputi giro, tabungan, deposit on call, deposito, dan sertifikat deposito mencapai Rp 1.862 triliun.

Bandingkan dengan jumlah nasabah dengan rekening di atas Rp 2 miliar. Meski jumlahnya hanya 213.313 rekening, namun nominal simpanannya mencapai Rp 2.443 triliun. Berarti, ada pemilik rekening yang jumlahnya di bawah 1 persen, namun total simpanannya menyamai dana 99 persen nasabah. Dengan kata lain, jumlah simpanan nasabah kelas menengah ke atas yang tidak dijamin jauh lebih besar.

Melihat fakta itu, perlu kiranya LPS untuk bertindak jeli dan waspada. Penjaminan nilai simpanan tentu sanggup memberikan rasa aman kepada pemilik buku tabungan, meski situasi ekonomi sedang tidak menentu. Semoga saja, perlambatan ekonomi global bisa segera berlalu agar memberi sentimen positif di dalam negeri.

Dengan begitu, perekonomian bisa menggeliat dan masyarakat tidak lagi kepikiran atas ancaman krisis yang juga menghantui perbankan. Tentu, LPS wajib mengantisipasi segala kemungkinan terburuk dalam menghadapi nilai tukar rupiah yang semakin terperosok agar nasabah tidak dirugikan ketika nilai roda perbankan mulai terganggu.

Peran aktif LPS dalam memberikan perlindungan simpanan nasabah itu lah yang wajib menjadi perhatian agar perbankan bisa menjaga arus kas perusahaan tetap sehat di saat perekonomian tidak menentu seperti sekarang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement