REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Kondisi perekonomian yang melemah membuat sejumlah bank melakukan restrukturisasi kredit untuk menjaga kualitas peminjaman. Posisi rasio kredit bermasalah (NPL) per kuartal kedua tercatat sebesar 2,56 persen.
Ketua Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), Sigit Pramono mengatakan, reatrukturisasi kredit menjadi bentuk antisispasi karena semua pihak realistis apakah bank sanggup menangani krisis.
Namun, yang paling penting sejauhmana nasabah bank bisa tahan dengn krisis yang terjadi. Karena penjualan menurun dan profitnya berkurang sehingga kemampuan membayar bank juga terpengaruh.
Sehingga bank mengantisipasi dengan merinci kemampuan nasabah membayar kewajiban kredit. "Kalau dilakukan restrukturisasi yang ketentuannya lebih longgar, artinya keuangan perusahaan bisa lebih meningkat. Yang kolektabilitasnya sudah turun dari 2 ke 3,4 atau 5. Makanya sebelum sampai ke 5, itu sudah dilakukan restrukturisasi kreditnya," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Senin (7/9).
Sigit menjelaskan, ada beberapa jenis restrukturisasi yang sederhana dan kompleks. Hal yang lebih sederhana dengan memperpanjang jangka waktu dari tiga tahun jadi lima tahun, kalau diperpanjang juga kewajibannya jadi turun sehingga dananya juga turun. Kedua keringanan dalam bentuk suku bunga. Tidak semua bank bisa tergantung kemampuan masing-masing.
Dalam kondisi seperti saat ini, umumnya bank memilih opsi perpanjang jangka waktu. Namun, bank juga harus mempersiapkan sumber likuiditas lain karena jangka waktu pembayaran kredit diperpanjang. "Sumbernya, sebetulnya likuiditas bank tidak ada masalah, karena dalam keadaan krisis itu kredit banyak tidak dicairkan dan menunda," katanya.