REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski elit pemerintahan terus menyanggah situasi kritis yang sedang dialami perekonomian Indonesia, realitas di lapangan berbicara lain. Tak dapat dimungkiri, fase kritis baik skala makro maupun mikro ekonomi sudah berdampak hingga menyentuh ,sektor rill pelaku usaha kecil.
Persatuan Wirausaha Muda Indonesia (PWMI) memandang sampai kemarin tim ekonomi pemerintahan Jokowi-JK belum mampu menahan laju pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Apalagi, nilai rupiah menyentuh level terendah sepanjang tahun 2015 yakni Rp 14.160 ribu per dolar AS. Kondisi tersebut, menjadi rekor terburuk sejak pascakrisis 1998.
Menurut Ketua DPP PWMI Abdul Rahman Sutara, berdasarkan informasi dari data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), banyak perusahaan tekstil yang berhenti beroperasi. Saat ini, jumlah pabrik tekstil yang beroperasi di wilayah Bandung turun drastis dari 48 menjadi 23 yang masih beroperasi.
“Sungguh ini warning serius bagi pemerintah bahwa krisis ekonomi sudah mulai meresap sampai ke level wiraswasta” kata Abdul dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (5/9).
Imbas keterpurukan nilai tukar rupiah tersebut sudah terasa hingga ke sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Berdasarkan penelusuran Litbang PWMI, sektor wiraswasta di Purworejo, Bandung dan Tasikmalaya sebagai basis pengrajin usaha tekstil, mengalami penurunan produksi karena terkendala mahalnya bahan baku kampas dan kain impor dari luar negeri dari India dan Pakistan.
PWMI pun mewanti-wanti pemerintah agar tidak keliru sasaran mengeluarkan paket program antisipasi krisis yang sedang digodok. PWMI melihat Presiden Jokowi dan tim ekonominya terlalu fokus antisipasi krisis pada variabel makro ekopol (ekonomi politik).
“Melulu yang dibicarakan persoalan lemahnya penyerapan anggaran APBN atau APBD hingga stabilitas politik yang menyangkut kegaduhan elite, hubungan parlemen sampai pengeluaran SE (Surat Edaran anti kriminalisasi)," cetusnya.