REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengaku masih berfokus pada upaya penanggulangan kebakaran hutan dan kabut asap. Makanya, belum dilakukan perhitungan kerugian, baik dari segi nominal finansial, maupun kerugian lingkungan dan kesehatan.
"Kerugian belum dihitung, tapi nanti ada yang hitung di Penelitian dan Pengembangan KLHK, rumit perhitungannya," kata Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Raffles B. Panjaitan pada Jumat (4/9).
Raffles meneragkan, tingkat keparahan kabut asap paling para di wilayah Riau dan Jambi. Data KLHK menyebut, kondisi terparah di Riau terdapat di Kabupaten Siak dengan indeks angka Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) 308. Itu artinya, kualitas udara yang bercampur asap sudah dalam kategori berbahaya.
Wilayah kedua yang menempati kondisi yang termasuk kedalam kategori sangat berbahaya ialah Kota Pekanbaru, tepatnya di Kecamatan Rumbai. Tidak berbeda jauh dengan Siak, angka ISPU Kecamatan Rumbai mencapai 307. "Tapi saat ini kita bellum tahu, semoga berkurang," ujarnya.
Sebelumnya, LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) melqkukan penghitungan kerugian multidimensi akibat kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap. Salah satunya Provinsi Jambi.
Walhi menyatakan, kerugian finansial di Jambi diperkirakan mencapai Rp 7 triliun hingga September 2015. Jumlah tersebut meningkat dari kerugian tahun lalu yakni sebesar Rp 4 triliun.
"Perhitungan tersebut baru dari indikasi kerugian lingkungannya saja, kalau ditambah indikator lainnya, bisa lebih banyak lagi," kata Direktur Eksekutif Walhi Wilayah Jambi Musri Nauli.
Ia menambahkan, kerugian misalnya anak-anak yang libur sekolah, masyarakat yang terganggu kesehatan pernapasannya dan sejumlah arus transportasi yang terhambat akibat asap.
Ia memaparkan, di Jambi terdapat ikan khas bernama semang yang terancam punah akibat tercemar asap. Selain itu, sejumlah tanaman obar-obatan juga lenyap akibat kebakaran lahan terjadi sedalam 30 cm di bawah permukaan tanah. "Ini menyebabkan lahan tidak produktif dan banyak racun api," ujarnya.
Kerugian selanjutnya yakni pencemaran udara, di mana kabut asap menghasilkan karbon monoksida yang berbahaya untuk kesehatan. Langganan kebakaran hutan dan kabut asap di Jambi, lanjut dia, menyebabkan bergesernya jadwal tanam petani.
Ia bercerita, biasanya petani mulai tanam pada bulan empat. Seharusnya satu bulan setelah tanam terjadi hujan. Namun BMKG menyebut, hujan akan datang intensif pada Oktober 2015. Lantas, puso dan gagal panen pun mengancam.
Ia pun menyampaikan indeks lingkungan hidup di Jambi terus mengalami penurunan. Di mana, dalam lima tahun terakhir, terjadi penurunan hingga 27 persen. Jika dalam lima tahun tidak dilakukan langkah perbaikan, dipastikan terjadi penurunan indeks lingkungan hingga 40 persen.