REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah Indonesia diminta membuat pernyataan kebijakan yang jelas mengenai kebijakan investasi kereta cepat Jakarta-Bandung yang akan segera diumumkan. Direktur Institut Studi Transportasi Darmaningtyas mengungkapkan, kejelasan ini termasuk apakah proyek ini berbasis visi presiden (vision-led) atau berlandaskan analisis makro ekonomi jangka panjang atau berdasarkan ketersediaan fiskal pemerintah.
Tyas menegaskan bahwa proyek ini adalah milik pemerintah, bukan BUMN apalagi milik Negara-negara donor yang akan membiayai proyek ini. Sehingga, lanjutnya, keputusan investasi (investment decision) harus menjadi pertimbangan utama, baru keputusan pembiayaan (financing decision) dan selanjutnya keputusan pengadaan (procurement decision).
"Saat ini yang kita pertarungkan adalah “procurement decision” dan “financing decision”, sementara “investment decision” tampak masih belum ada kepastian dan berada dalam situasi yang gamang," jelas Tyas dalam sebuah diskusi, Kamis (3/8).
Tyas menambahkan, dirinya mencatat bahwa hampir semua Negara membuat keputusan pembangunan kereta cepat terutama di Asia Timur (Jepang, Cina, Korea Selatan, dan Taiwan (serta yang dalam persiapan adalah Thailand, Malaysia-Singapura) sebagai instrumen transformasi ekonomi nasional, bukan semata-mata mengangkut penumpang dari satu tempat ke tempat yang lain.
"Kalau fokusnya adalah untuk mengangkut penumpang dalam jumlah massal dan biaya lebih murah, pemerintah bisa menggunakan sistem lain yang lebih tepat," lanjutnya.
Seperti diketahui, proyek kereta api cepat Indonesia yang diwacanakan sekelas Shinkansen dengan kecepatan 300 kilometer per jam akan melayani rute Jakarta-Bandung. Hingga hari ini pemerintah belum juga memutuskan apakah Cina atau Jepang yang mendapat kesempatan untuk mengembangkan kereta cepat di Indonesian.