REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dampak depresiasi rupiah belum dirasakan betul oleh industri di bidang infrastruktur. Hingga kini Komisi IX DPR RI belum mendapat laporan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor ini.
Meski begitu, bukan berarti pemerintah boleh tenang-tenang saja. Pemerintah dengan semua institusi keuangan harus memikirkan bagaimana cara memberikan kredit besar-besaran kepada perusahaan. “Kalau dulu mungkin pemberian kredit susah, maka sekarang harus dimudahkan agar sektor riil di bawahnya bisa bergerak,” ucap Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf saat dihubungi ROL, Kamis (27/8).
Namun tetap azas kehati-hatian harus dijaga agar roda perekonomian kembali bergerak dan tidak terjadi PHK di industri infrastruktur seperti yang terjadi di industri manufaktur.
Dede mengatakan dampak depresiasi rupiah bagi industri infrastuktur baru terasa dampaknya jika perusahaan meminjam modal berdenominasi dolar AS dari perbankan. “Tapi kalau pinjamnya rupiah belum terasa pengaruhnya, paling hanya daya beli masyarakat saja yang berkurang,” ujarnya.
Keberlangsungan industri di bidang infrastruktur sangat bergantung dari kemampuan penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Daerah (APBN/APBD) serta belanja dari perbankan. Industri infrastruktur seperti properti, umumnya mengambil pinjaman dari bank, baik itu bank nasional maupun swasta. Industri infrastruktur bergerak karena adanya kontrak.
Masih banyak langkah strategis lainnya agar perusahaan infratruktur untuk bertahan dari gempuran kelesuan ekonomi, apalagi jika ada dana bergulir dari bank. “Untuk mendapat pinjaman dari bank butuh kebijakan landing credit dari pemerintah supaya dipermudah,” kata politikus Partai Demokrat ini.