REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah semakin melemah mencapai Rp 14 ribu per dolar AS. Berdasarkan Bloomberg Dollar Index, rupiah ditutup di level Rp 14.054 per dolar AS pada Selasa (25/8), melemah 0,03 persen atau 5 poin dari penutupan Senin (24/8) di level Rp 14.049 per dolar AS.
Sedangkan menurut kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) rupiah di level Rp 14.067 pada Selasa atau melemah 69 poin dibandingkan Senin di level Rp 13.998 per dolar AS.
Pengamat pasar uang Farial Anwar mengatakan, salah satu penyebab pelemahan rupiah karena faktor capital ouflow asing yang terjadi di pasar keuangan. Sementara, pelemahan rupiah juga mendorong terjadinya capital outflow di pasar modal.
"Ini saling berkaitan, pelemahan rupiah mengkhawatirkan di pasar modal, mungkin untung di saham tapi rugi di pasar valas, itu sebabnya mereka mau melakukan aksi jual, dan sebaliknya aksi jual saham melemahkan rupiah, sehingga saham jatuh dan dolar naik," kata Farial saat dihubungi Republika, Selasa (25/8).
Menurutnya, pelemahan rupiah kemungkinan besar masih akan berlanjut dan belum ada tanda-tanda berhenti. Sebab, indeks harga saham gabungan naik karena intervensi yang dilakukan melalui pembelian kembali (buyback) saham-saham milik perusahaan BUMN.
Investor asing sedang melakukan aksi outflow dari emerging market karena mereka melihat kondisi ekonomi emerging market bermasalah ketika Cina melakukan devaluasi yuan. Selain itu, perkiraan kenaikan suku bunga AS sehingga dolar menguat tajam terhadap hampir semua mata uang.
Devaluasi yuan juga membuat mata uang di Asia melemah karena dikhawatirkan adanya perang mata uang (currency war). Sebab, langkah mendevaluasi mata uang juga telah diukuti oleh Vietnam.
Selain itu, pelemahan rupiah masih sangat berpotensi terus berlanjut, salah satunya di dalam negeri reshuffle kabinet belum memberi dampak positif ke pasar. Adanya kisruh kabinet yang diperlihatkan di media sosial membuat ekspektasi yang negatif terhadap kondisi dalam negeri.
Pasar juga melihat di dalam negeri ekonomi melambat, di kuartak kedua belanja pemerintah (government spending) belum sesuai yang diharapkan. Ekspor masih melemah karena harga komoditas belum merangkak naik.
Permintaan dolar masih besar karena pembayaran deviden dan utang luar negeri (ULN). "Orang lebih memilih pegang dolar. Itu yang menjadi problem sehingga rupiah mengalami tekanan sangat tajam menembus Rp 14.000," imbuhnya.
Menurutnya, capital outflow juga masih akan terus berlanjut. Sebab, Indonesia sudah pernah kebanjiran inflow, dan baru sebagian yang keluar. Dikhawatirkan jika pelaku pasar masih terus melakukan aksi jual surat utang akan berdampak negatif. Saat ini, invetor yang masuk didominasi portofolio bukan investasi langsung (foreign direct investment/ FDI).
Meskipun kondisi perekonomian melemah dan nilai tukar terdepresiasi semakin dalam, menurutnya Indonesia belum masuk tahap krisis ekonomi. Dia menyebutkan, indikator krisis ekonomi biasanya nilai tukar jatuh tajam, inflasi tinggi, suku bunga naik, kredit bermasalah (NPL) besar, serta adanya kekalutan di perbankan dan dunia usaha.
"Meskipun belum kesana kita jangan santai, kita harus anstisipasi, saat ini kita lebih banyak bereaksi, kebijakan dampaknya belum ada karena jangka panjang," ujarnya.
Dia menyebutkan beberapa kebijakan seperti kewajiban transaksi dengan rupiah di NKRI, batasan pembelian dolar sebesar 25 ribu dolar AS harus ada underlying, belum berdampak pada penguatan rupiah.
Sebab, suplai dolarnya tidak ada, devisa hasil ekspor tidak ditaruh di dalam negeri, pengusaha memilih menaruh uang di luar negeri. Satu-satunya yang menjual dolar hanya Bank Indonesia melalui intervensi. Sehingga cadangan devisa turun menjadi 107,553 miliar dolar AS pada akhir Juli 2015.
Untuk membuat sentimen positif di pasar terhadap perekonomian nasional, pemerintah diminta kompak. Pemerintah, pemengan kebijakan fiskal dan moneter diminta bekerja sama erat, dan tidak menganggap kondisi ekonomi masih baik.
Sebab, pada 1998 para petinggi mengatakan kondisi ekonomi tenang tapi nyatanya terjadi guncangan di nilai tukar yang tembus Rp 16.000 per dolar AS.
"Jangan dianggap tidak ada masalah, harusnya kita siap dari waktu ke waktu, ada semacam task force yang selalu memonitor pasar," pungkasnya.