REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah semakin terdepresiasi mendekati Rp 14.000 per dolar AS. Depresiasi rupiah dinilai dipengaruhi faktor eksternal terutama ekspektasi kenaikan suku bunga AS dan devaluasi yuan.
Perdagangan rupiah menurut Bloomberg Dollar Index, Kamis (20/8), menyentuh level Rp 13.915 per dolar AS pada pukul 16.20 waktu setempat. Pada Kamis, rupiah dibuka di level Rp 13.820 per dolar AS dan diperdagangkan di kisaran Rp 13.816 - Rp 13.926 per dolar AS. Pada perdagangan Kamis rupiah ditutup di level Rp 13.885 per dolar AS, melemah 0,31 persen atau 42,5 poin dibandingkan penutupan Rabu (19/8) di level Rp 13.842,5 per dolar AS.
Sementara menurut kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, rupiah di level Rp 13.838 per dolar AS pada Kamis atau melemah 14 poin dibandingkan Rabu di level Rp 13.824 per dolar AS.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menyatakan Indonesia tidak perlu mengikuti langkah pemerintah Cina mendepresiasi mata uangnya. "Karena negara-negara emerging market seperti Indonesia, Brasil, Turki, Thailand, Afrika Selatan dan Meksiko semua negara itu mata uang sudah melemah," jelasnya kepada wartawan di gedung Mahkamah Agung Jakarta, Kamis (20/8).
Mirza menyebutkan, mata uang Eropa juga sudah melemah, Norwegia sudah melemah 12 persen (ytd), New Zaeland melemah 15 persen (ytd), Australian dolar melemah 10 persen (ytd). Menurutnya, negara emerging market tidak perlu mengikuti langkah pemerintah Cina, karena mata uang Cina sebelumnya tidak melemah.
Dia juga mengimbau agar tidak mengikuti istilah perang kurs yang digunakan oleh para currency trader. "Sehingga kalau orang bilang kalau akan terjadi perang kurs itu sih perkataan para currency trader, kalian jangan ikutin apa maunya currency trader," ujarnya.