Selasa 18 Aug 2015 21:18 WIB

Duh, Ada Sinyal Bahaya dari Surplus Neraca Perdagangan

Rep: Satria Kartika Yudha/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ekspor Semester Pertama. Aktifitas bongkar muat peti kemas saat pagi di Jakarta International Container Terminal, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (24/7).
Foto: Republika/ Wihdan
Ekspor Semester Pertama. Aktifitas bongkar muat peti kemas saat pagi di Jakarta International Container Terminal, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (24/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktur Penelitan Center of Reform on Economics Mohammad Faisal mengatakan tidak ada sinyal positif dari surplus neraca perdagangan yang terjadi pada Juli 2015 sebesar 1, 33 miliar dolar AS. Justru, surplus tersebut menjadi sinyal bahaya keberlangsungan industri dalam negeri.

Faisal mengatakan, surplus neraca perdagangan terjadi karena penurunan impor lebih tajam ketimbang penurunan ekspor. Dari sisi impor, terjadi penurunan yang sangat tajam dalam impor bahan baku/penolong.

"Artinya, aktivitas produksi industri dalam negeri berkurang. Ini lantaran bahan baku atau barang modal lebih banyak berasal dari impor," kata Faisal kepada Republika.

Faisal mengatakan penyebab utama turunnya impor bahan baku/penolong karena terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Bukan karena sudah banyak barang substitusi impor yang tersedia di dalam negeri.

Fakta ini, kata Faisal, membuktikan bahwa depresiasi rupiah lebih berdampak pada penurunan impor. Padahal, penurunan nilai tukar rupiah seharusnya dapat menggenjot kinerja ekspor.

Namun, pada kenyataannya, nilai ekspor Indonesia Juli 2015 turun 15,33 persen menjadi 11,41 miliar dolar AS jika dibandingkan Juni 2015. Sementara nilai impor tercatat 10,08 miliar dolar AS atau turun 22,36 persen dibandingkan Juni 2015.

"Ini mengkhawatirkan. Depresiasi rupiah terbukti sangat berdampak pada industri dalam negeri," ujar Faisal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement