Rabu 05 Aug 2015 22:29 WIB

Laba Bersih Pertamina Menurun, Ini Alasannya

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
 Aktivitas pengisian bahan bakar minyak ke dalam tangki minyak di Depo Pertamina Plumpang, Jakarta, Senin (30/3).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Aktivitas pengisian bahan bakar minyak ke dalam tangki minyak di Depo Pertamina Plumpang, Jakarta, Senin (30/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktur Keuangan PT Pertamina (persero) Arif Budiman menyebutkan, capaian laba bersih Pertamina memang menurun dibanding periode yang sama tahun lalu. Pada semester pertama 2014 lalu, laba Pertamina sebesar 1,13 miliar dolar AS.

"Laba bersih itu untuk kuartal II 2015 itu 570 juta dolar AS, tahun lalu itu 1,13 miliar dolar AS, memang setengahnya karena memang harga minyak yang setengahnya," ujar Arif kepada awak media, Rabu (5/8).

Arif menyebutkan, kinerja keuangan Pertamina sempat mengalami rebound setelah pada akhir 2014 dan awal kuartal pertama 2015 sempat menurun. Pendapatan Pertamina sampai Juni 2015 mencapai 21,79 miliar dolar AS atau menurun 40,69 persen terhadap realisasi di periode yang sama tahun sebelumnya.

Sisi lain, kata Arif, beban pokok dan beban usaha mencapai 20,22 miliar dolar AS atau lebih rendah 35,26 persen dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. Ebitda Pertamina tercatat mencapai 2,32 miliar dolar AS.

"Kita tidak akan melakukan restrukturisasi hutang, kita memperbaiki strukturnya," lanjutnya.

Seperti diberitakan, ‎PT Pertamina (Persero) mencatatkan laba bersih sekitar 570 juta dolar AS pada semester I tahun 2015 ini.

Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto menjelaskan, situasi industri migas yang fluktuatif menuntut perseroan untuk melakukan langkah efisiensi. Dalam konteks dalam negeri, lanjut Dwi, situasi industri migas yang tertekan ditandai dengan anjloknya Indonesian Crude Price (ICP) hingga separuh dari harga tertinggi tahun lalu, belum lagi ditambah rupiah yang semakin tertekan.

Pertamina mencatat, hingga Juni 2015 ICP jatuh ke posisi 59,4 dolar AS per barel atau jauh dari rata-rata ICP pada periode yang sama tahun 2014 sebesar 106,6 dolar AS per barel. Di sisi lain, rupiah terdepresiasi hingga lebih dari 10 persen dalam kurun waktu yang sama.

"Banyak perusahaan di duna yang melakukan aksi terobosan agar dapat survive, mulai dari pengurangan capex hingga pemangkasan tenaga kerja di awal tahun yang masih berlanjut hingga saat ini. Alhamdulillah, di tengah kondisi tersebut Pertamina dapat mengatasinya dan peroleh laba, meski di awal tahun sempat rugi," kata Dwi di kantornya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement