REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Standard Chartered Bank, Eric Sugandi, memperkirakan ekonomi Indonesia triwulan III berpeluang tumbuh di atas 5,0 persen jika realisasi belanja pemerintah optimal.
"Realisasi program pemerintah itu akan mendorong stimulus bagi perekonomian dengan meningkatnya jumlah lapangan kerja. Itu yang bisa memulihkan konsumsi," ujarnya, Selasa (21/7).
Sepanjang semester I, ujar Eric, konsumsi domestik, baik konsumsi swasta maupun konsumsi rumah tangga masih lesu.
Jika rencana pemerintah dalam mengebut eksekusi program dan proyek-proyek infrastruktur terealisasi pada semester II, dia mengestimasi pertumbuhan ekonomi di triwulan III dan IV bisa berada di rentang 5,0-5,2 persen.
Menurut dia, alokasi belanja modal untuk infrastruktur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2015 senilai Rp290,3 triliun,--yang terbesar dalam lima tahun terakhir-- , seharusnya dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).
Namun lambannya realisasi belanja modal tersebut yang terjadi hingga penghujung semester I, menurut Eric, akan memperkecil kontribusi belanja infrastruktur tersebut bagi pertumbuhan ekonomi.
Meskipun perkiraan pemerintah bahwa 90 persen dari belanja modal tersebut akan teralisasi tahun ini, Eric menyangsikan efeknya terhadap target pertumbuhan ekonomi pemerintah sesuai asumsi di APBN-P 2015 sebesar 5,7 persen, Eric memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2015 sebesar 4,9 persen.
"Sayang, 'timing'-nya terlambat untuk mengoptimalkan belanja infrastruktur itu," katanya.
Mengenai pertumbuhan ekonomi di triwulan II, Eric menilai belum ada pencapaian positif selain sedikit pulihnya kinerja ekspor. Hal itu ditambah masih lesunya konsumsi masyarakat.
"Indikator penjualan kendaraan bermotor dan ritel mash melemah," ujarnya.
Di triwulan II, Eric memperkirakan ekonomi hanya akan tumbuh 4,8 persen atau naik sedikit dari realisasi pertumbuhan triwulan I sebesar 4,71 persen.
Indikasi lesunya permintaan masyarakat juga, kata dia, terlihat dari laju impor bahan baku dan barang modal yang terus turun. Padahal Indonesia memasuki tren konsumsi tinggi di bulan Ramadhan dan Lebaran 1436 Hijriah, dimana seharusnya dunia usaha melipatgandakan produksi untuk memenuhi kenaikan konsumsi masyarakat.
"Jadi menimbulkan pertanyaan, ada apa dengan konsumsi, karena kita belum bisa mengganti impor barang modal dan bahan baku, tapi terus turun," ujarnya.