Kamis 09 Jul 2015 16:02 WIB

OJK Keluarkan Aturan Transaksi Repo

Rep: c87/ Red: Satya Festiani
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad dalam sebuah kesempatan jumpa pers di gedung OJK, Jakarta Pusat. (Antara/Fanny Octavianus)
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad dalam sebuah kesempatan jumpa pers di gedung OJK, Jakarta Pusat. (Antara/Fanny Octavianus)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan aturan terkait pedoman transaksi Repurchase Agreement (Repo) bagi Lembaga Jasa Keuangan. Peraturan OJK tersebut bertujuan memberikan pedoman standar Transaksi Repo yang mengacu pada praktik yang berlaku secara internasional.

Selain itu untuk memberikan kepastian hukum bagi Lembaga Jasa Keuangan yang melakukan Transaksi Repo. Peraturan tersebut termuat dalam POJK Nomor 9/POJK.04/2015 tentang Pedoman Transaksi Repurchase Agreement Bagi Lembaga Jasa Keuangan (POJK Transaksi Repo).

Direktur Pengaturan Pasar Modal OJK Gonthor R Azis mengatakan, terdapat tiga hal yang menjadi pokok POJK tersebut. Pertama, Lembaga Jasa Keuangan yang melakukan Transaksi Repo atas Efek tanpa warkat yang diatur dan diawasi oleh OJK serta yang terdaftar dan penyelesaiannya dilakukan melalui Bank Indonesia dan/atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib mengikuti ketentuan POJK tersebut. Kedua, setiap Transaksi Repo wajib berdampak pada perubahan kepemilikan atas Efek dan wajib dibuat berdasarkan perjanjian tertulis.

Ketiga, perjanjian tertulis atas Transaksi Repo wajib menerapkan Global Master Repurchase Agreement Indonesia (GMRA Indonesia) yang diterbitkan oleh OJK atau pihak lain yang diakui oleh OJK. Kecuali Transaksi Repo tersebut dilakukan dengan lembaga negara yang melaksanakan kebijakan fiskal atau moneter dan/atau menggunakan prinsip-prinsip Syariah.

"Untuk memberikan kelonggaran kepada lembaga jasa keuangan, maka POJK ini baru mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016," jelasnya dalam siaran pers, Kamis (9/7).

Selain itu, OJK juga mengeluarkan aturan tentang kewajiban emiten atau perusahaan publik untuk memberikan informasi melalui situs web. Aturan itu juga berlaku mulai 1 Januari 2016. Aturan tersebut termuat dalam POJK Nomor 8/POJK.04/2015 tentang Situs Web Emiten atau Perusahaan Publik.  

Menurut Ghontor, POJK ini diterbitkan untuk meningkatkan akses pemegang saham serta pemangku kepentingan lainnya terkait informasi Emiten atau Perusahaan Publik secara aktual dan terkini.

Adapun pokok pengaturan dalam POJK tentang Situs Web Emiten atau Perusahaan Publik memuat enam hal. Pertama, Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki Situs Web dengan alamat Situs Web yang mencerminkan identitas Emiten atau Perusahaan Publik. Kedua, pembuatan Situs Web Emiten atau Perusahaan Publik harus memperhatikan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, informasi yang dimuat dalam Situs Web Emiten atau Perusahaan Publik adalah informasi mengenai Emiten atau Perusahaan Publik yang terbuka untuk umum, aktual, dan terkini. Kemudian, situs Web Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyajikan informasi dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing.

Kelima, jika terdapat perbedaan penafsiran atas informasi yang disajikan dalam bahasa asing dengan informasi dalam Bahasa Indonesia, maka yang dijadikan acuan adalah informasi dalam Bahasa Indonesia.

Terakhir, informasi yang harus dimuat dalam Situs Web Emiten atau Perusahaan Publik meliputi Informasi umum Emiten atau Perusahaan Publik, Informasi bagi pemodal atau investor, Informasi tata kelola perusahaan, serta Informasi tanggung jawab sosial perusahaan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement