REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Energi Yusri Usman mengungkapkan, sejak 29 Juni 2015 proses audit forensik terhadap Pertamina Energy Sevices Ltd Singapore sudah mulai dilakukan. Audit ini dilakukan perusahaan Konsultan Forensik dari Australia, Kordamentha cabang Singapore yang ditunjuk SPI Pertamina pusat.
“Dan kedatangan tim audit ke kantor Petral-PES diantar langsung oleh Direktur Umum Pertamina Dwi Daryoto, didampingi oleh VP Upstream Pertamina. Tim ini juga didampingi oleh tim dari Kejaksaan Agung dan sekarang sudah bekerja,”kata Yusri kepada wartawan, Selasa (7/7).
Anehnya, tim ini hanya difokuskan untuk melakukan forensik terhadap kegiatan pengadaan tahun 2012 sampai dengan 2014 saja. “Kalau informasi ini benar, artinya ini adalah suatu kebijakan yang aneh, karena temanya adalah untuk proses pembubaran Petral yang digembar gemborkan sarang mafia migas,” ungkap dia.
Ia berpendapat, seharusnya tim audit forensik ini memeriksa semua aktifitas sejak Petral Singapore berubah fungsi, dari pengekspor menjadi pengimpor ditahun 2004. Maka seharusnya yang benar proses audit forensik dimulai sejak tahun 2004 sampai dengan akhir 2014.
“Yang menjadi pertanyaan juga mengapa BPK (Badan Pemeriksa keuangan) yang selama ini mengaudit PES tidak dilibatkan? Padahal, menurut Undang Undang bahwa unsur kerugian Negara harus dikeluarkan oleh BPK RI,” tegasnya.
Menurut Yusri, kebijakan tersebut menunjukkan Menteri BUMN Rini Soemarno layak dicopot. Kebijakan Rini menurutnya telah menyebabkan carut marut di bidang ekonomi energi.
Contoh lain kebijakan Rini yakni penunjukan Direktur Utama perusahaan plat merah yang tidak memiliki pengalaman di bidang usaha korporasi yang dipimpin. “Saya menyoroti kebijakan Rini dalam sektor energi. Khususnya penempatan direktur utama Pertamina,”imbuhnya.
Ditunjuknya Dwi Soetjipto dari Dirut PT Semen Indonesia Tbk menjadi Dirut PT Pertamina (Persero) sehingga keputusan terkait Blok Mahakam menjadi tidak sesuai dengan yang diinginkan publik. “Faktanya katanya kebijakan Direksi Pertamina yang memberikan share down 30 persen kepada Total-Inpex,”bebernya.
Belum lagi kebijakan Menteri Rini terkait tukar guling saham Mitratel dan soal aktifitas penempatan pengolahan data Telkomsel di Singapura, yang potensi merugikan negara dari sektor ekonomi dan keamanan negara. “Sangat tepat dicopot, hanya persoalannya hak prerogatif kan di tangan Presiden. Apakah benar Presiden mau copot? kemudian Rini adalah Tim sukses ring 1 dan ketua tim transisi, tentu banyak rahasia sejak sebelum kampanye Pilpres yang dia pegang. Bisa jadi kartu truf ini akan dia gunakan menekan Presiden,” paparnya.