Sabtu 04 Jul 2015 07:54 WIB

Pelemahan Rupiah Ancam Perekonomian

Dollar Naik, Rupiah Turun: Petugas menghitung uang pecahan 100 Dollar dan uang pecahan Rp. 100 ribu di salah satu tempat penukaran uang, Jakarta, Kamis (12/2).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Dollar Naik, Rupiah Turun: Petugas menghitung uang pecahan 100 Dollar dan uang pecahan Rp. 100 ribu di salah satu tempat penukaran uang, Jakarta, Kamis (12/2).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Nilai tukar rupiah yang merosot memberikan peluang dan keuntungan sekaligus bisa mengancam perekonomian secara keseluruhan. Ekonom dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Edy Suandi Hamid mengatakan penurunan nilai tukar rupiah harus dilakukan secara serius.

Menurut dia, pencermatan itu bukan hanya oleh Bank Indonesia (BI), tetapi juga pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan para pelaku ekonomi yang langkah-langkahnya bisa mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah. "Pengalaman kemerosotan ekonomi yang parah yang terjadi pada 1998 juga diawali oleh kemerosotan nilai tukar rupiah, yang menjelang pertengahan 1998 sempat menyentuh Rp 17 ribu per dolar AS," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) itu.

Ia mengatakan nilai tukar rupiah sejak dua bulan terakhir jauh di atas asumsi dasar Rp 12.500, bahkan sudah terdepresiasi di atas Rp 13.300 per dolar AS. Hal itu menggambarkan adanya instabilitas makro ekonomi Indonesia. Selain itu, menurut dia, harga minyak mentah Indonesia ternyata juga di bawah asumsi dasar. Harga minyak mentah Indonesia rata-rata hanya 53 dolar AS per barel dari asumsi dasar sebesar 60 dolar AS per barel.

"Melemahnya nilai tukar rupiah dan melesetnya harga dan produksi minyak akan banyak pengaruhnya pada makro ekonomi secara keseluruhan. Hal ini bisa berpengaruh pada target atau sasaran kesempatan kerja, pengangguran, kemiskinan, distribusi pendapatan, dan variabel makro ekonomi lain," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, langkah-langkah untuk menata kebijakan ekonomi termasuk isu perombakan kabinet ekonomi bida dipahami sepanjang dilakukan untuk mengoreksi kebijakan yang dalam semester pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla terkesan masih jalan sendiri-sendiri, dengan arah yang belum sepenuhnya jelas. Diskusi yang dihadiri sekitar 200 peserta itu merupakan kerja sama antara Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dengan UMY.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement