REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kesenjangan antara orang kaya dan miskin di dunia semakin melebar. Organisation for Economic Co-operation Development (OECD) melaporkan, 10 persen orang terkaya di dunia memiliki penghasilan 9,6 kali lipat lebih besar dari 10 persen penduduk termiskin. Lalu bagaimana dengan di Indonesia?.
Dalam laporan survei ekonomi OECD untuk Indonesia, disebutkan bahwa Indonesia sebenarnya telah mencapai kinerja yang mengagumkan dalam menurunkan angka kemiskinan absolut.
Dalam periode tiga dasawarsa terakhir, rata-rata pertumbuhan PDB per kapita mencapai sekitar 3,5% per tahun. Apabila dikombinasikan dengan berbagai program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan, maka pemerintah telah berhasil mengurangi jumlah orang miskin dengan pendapatan sebesar 2 dolar AS per hari dari 85% penduduk menjadi 43% sejak tahun 1980.
Meski begitu, Indonesia memiliki catatan yang tidak terlalu mengesankan dalam hal mengurangi disparitas pendapatan, khususnya selama dasawarsa terakhir di mana koefisien Gini telah meningkat secara signifikan. Koefisien gini Indonesia pada tahun 1980 adalah 0,30. Kemudian meningkat mendekati 0,40 pada 2012.
Sekadar informasi, koefisien ini merupakan metode untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Koefisien Gini berkisar antara 0 sampai dengan 1. Apabila koefisien Gini bernilai 0 berarti pemerataan sempurna, sedangkan apabila bernilai 1 berarti ketimpangan sempurna
Kendati demikian, tingkat kesenjangan pendapatan Indonesia disebut masih lebih rendah dibandingkan dengan banyak negara berkembang lainnya. Meski demikian, porsi pendapatan tertinggi meningkat secara tajam pada akhir tahun 1990-an. Dalam arti lain, pertumbuhan pendapatan orang kaya lebih cepat ketimbang orang miskin.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Chaniago mengatakan pemerintah sangat komitmen untuk menurunkan tingkat kesenjangan sosial. Itu dapat terlihat dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015-2019 yang disebutnya mengedepankan konsep pertumbuhan ekonomi berkualitas.
Pemerintah, sebut Andrinof, mengusung tiga norma dalam strategi pembangunan nasional sesuai RPJMN. Pertama adalah membangun untuk manusia dan masyarakat. Kedua yaitu upaya peningkatan kesejahteran, kemakmuran, produktivitas tidak boleh menciptakan ketimpangan yang makin melebar.
"Perhatian khusus diberikan kepada peningkatan produktivitas rakyat lapisan menengah bawah, tapi tanpa menghalangi pelaku-pelaku besar untuk terus menjadi agen pertumbuhan," kata Andrinof melalui siaran pers yang diterima Republika.
Sedangkan yang ketiga, aktivitas pembangunan tidak boleh merusak, menurunkan daya dukung lingkungan dan keseimbangan ekosistem. Upaya menurunkan tingkat kesenjangan juga sudah terlihat dengan kebijakan fiskal pemerintah yang mengalihkan subsidi BBM ke sektor produktif.
Anggaran hasil pengalihan subsidi BBM dipakai untuk membangun infrastruktur seperti bendungan, waduk, irigasi, yang diharapkan dapat menggerakkan ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Bukan hanya itu, pemerintah juga mencoba menggerakkan ekonomi daerah dengan memberikan stimulus fiskal melalui dana desa. Dana desa pada tahun ini dianggarkan Rp 20,7 triliun. Anggaran dana desa itu naik sekitar Rp 11 triliun dari rencana awal.