Jumat 22 May 2015 13:51 WIB

Outlook Positif, Rupiah Diprediksi Menguat Signifikan

Rep: Aldian Wahyu Ramadhan/ Red: Satya Festiani
  Petugas menghitung uang pecahan rupiah di layanan nasabah Bank BNI, Jakarta, Jumat (13/3).
Foto: Antara
Petugas menghitung uang pecahan rupiah di layanan nasabah Bank BNI, Jakarta, Jumat (13/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan outlook kredit Indonesia oleh Standard and Poors (S&P) akan menurunkan premi risiko lebih rendah ke depannya. Alhasil, selain yield obligasi menurun, rupiah juga akan menguat signifikan.

Ekonom Mandiri Sekuritas Leo Rinaldy mengatakan, berdasarkan peristiwa masa lalu, yield obligasi 10 tahun pemerintah rata-rata turun 2,5 ppt setelah 12 bulan dari prospek atau rating ditingkatkan. Sedangkan nilai tukar rupiah menguat 9,2 persen pada periode yang sama.

Meski begitu, lanjut Leo, kemungkinan kenaikan akan lebih rendah, mengingat Indonesia telah masuk dalam peringkat investasi lembaga pemeringkat Fitch dan Moody’s. ''Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk mendorong reformasi pajak dan meningkatkan belanja infrastruktur untuk mencapai peringkat investasi,'' kata dia, Jumat (22/5).

Kemarin, Lembaga pemeringkat internasional, S&P mengubah outlook kredit Indonesia dari stabil menjadi positif. Alasannya, peningkatan kerangka fiskal dan moneter. S&P menyatakan, efektifitas kebijakan yang lebih besar dan prediktabilitas telah mengakibatkan perluasan cadangan fiskal yang menjadi penyangga untuk meningkatkan ketahanan eksternal Indonesia.

S&P outlook kepada Indonesia, rinciannya, pertama, S&P memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,5 persen pada 2015, didukung oleh investasi sektor publik yang tinggi, melihat pertumbuhan ekonomi 5,9 persen lebih pada 2015-2019. Kedua, defisit anggaran diperkirakan mencapai 2,3 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2015. Meskipun minyak dan pendapatan gas kemungkinan akan kurang bagus pada tahun ini karena harga komoditas rendah, lembaga mengharapkan perbaikan pada kepatuhan pajak dan pendapatan non-minyak yang lebih tinggi. Hal itu terutama karena pajak cukai yang lebih tinggi pada tembakau dan barang mewah. Pada jangka menengah (2015 - 2019), S&P melihat defisit rata-rata 1,9 persen dari PDB.

Ketiga, di sisi eksternal, perkiraan defisit transaksi berjalan akan terpukul ke 2,5 persen dari PDB pada tahun ini. S&P melihat risiko arus modal keluar merupakan konsekuensi dari fleksibilitas nilai tukar. Sementara utang eksternal pemerintah dan perbankan rendah, dan likuiditas eksternal kuat.

Secara keseluruhan, S&P menyatakan bahwa  outlook positif mencerminkan kemungkinan bahwa hal itu bisa meningkatkan rating Indonesia selama 12 bulan ke depan, jika pemerintah mencapai tujuannya meningkatkan kualitas belanja.

Hal ini termasuk memungkinkan kenaikan harga bahan bakar untuk menyesuaikan dengan pasar bebas, dan mengalokasikan anggaran investasi pemerintah menjadi lebih efisien. Di sisi lain, S&P bisa merevisi outlook kembali ke stabil jika reformasi fiskal atau eksternal dan makro meningkat menjadi tidak seimbang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement