Senin 18 May 2015 13:34 WIB

Deadlock, Program Iuran Pensiun Diserahkan ke Presiden

Rep: Satria Kartika Yudha/ Red: Satya Festiani
 Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn Masassya.
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn Masassya.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Pemerintah dan kalangan pengusaha tak kunjung menemui kesepakatan ihwal iuran jaminan pensiun tenaga kerja. Sejauh ini, ada tiga opsi yang menguak untuk selanjutnya diajukan dan diputuskan Presiden Joko Widodo.

Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G. Masassya mengungkapkan, BPJS Ketenagakerjaan bersama beberapa kementerian seperti Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan sepakat iuran pensiun sebesar delapan persen dari gaji. Tiga persen dibayar oleh pekerja, sementara lima persen dibayar pemberi kerja.

Akan tetapi, opsi itu tidak disepakati oleh dunia usaha. Kalangan pengusaha mengusulkan iuran pensiun hanya 1,5 persen dan dilakukan bertahap sebelum mencapai angka delapan persen. Sementara Kementerian Keuangan merekomendasikan iuran sebesar tiga persen.

"Tiga opsi ini akan dibawa ke Presiden. Biar nanti Presiden memutuskan yang mana yang lebih baik," kata Elvyn di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Senin (18/5).

Elvyn mengatakan pihaknya mengusulkan iuran pensiun delapan persen agar tenaga kerja karena mempertimbangkan manfaat. Dengan iuran delapan persen, para pekerja bisa mendapatkan uang pensiun sebesar 35 persen dari jumlah gaji saat bekerja untuk diterima setiap bulannya.

"Idealnya itu kan minimal 35 persen dari rata-rata upah pekerja pada saat mereka pensiun," ucap Elvyn.

Meski belum tahu opsi mana yang akan dipilih Jokowi, Elvyn menegaskan program iuran jaminan pensiun akan berjalan sesuai rencana.

"Pokoknya 1 Juli 2015 program ini sudah berjalan. Akhir bulan ini, opsi-opsi tersebut sudah diajukan ke presiden untuk ditetapkan menjadi Peraturan Pemerintah," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement