REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumat lalu kurs rupiah mencapai Rp 13.200 per dolar Amerika Serikat (AS). Padahal sebelumnya, rupiah sempat menguat.
Analis Pasar Keuangan, Farial Anwar, menyatakan, rupiah memang sedang dilanda sentimen negatif. Ia menambahkan, karena pasarnya berubah maka akan sulit mempertahankan dolar di bawah Rp 13 ribu.
"Sekarang kita memang punya masalah besar di dalam negeri dan luar negeri yang berdampak negatif pada rupiah. Di luar, kita semua tahu ada berita AS akan menaikkan suku bunganya, sebab perekonomian mereka mulai membaik," jelas Farial, ketika dihubungi, Minggu, (10/5).
Menurutnya, kabar itu membuat rupiah terombang-ambil selama berbulan-bulan. Ia menyebutkan, dibandingkan mata uang lain, pengaruh dolar ke rupiah paling buruk.
Selanjutnya Farial mengungkapkan, di dalam negeri permintaan dolar lebih besar daripada penawarannya. Sedangkan saat ini hanya Bank Indonesia (BI) yang menjual dolar.
"Jadi permintaan dolar besar, ada juga kewajiban hutang valuta asing yang jatuh waktu. Saat ini orang pun memilih pembayran dalam dolar walaupun transaksinya di dalam negeri," tutur Farial. Baginya semua faktor tersebut membuat dolar mendapat tekanan dalam beberapa hari.
Ia berpendapat, kemungkinan tekanan terhadap rupiah bakal terus berlangsung. Apalagi pasar sudah mulai kecewa dengan pemerintahan sekarang yang dianggap tak sesuai harapan.
Farial menegaskan, bila pemerintah tidak berani mengubah kebijakannya, terutama terkait bebas visa. Maka tak ada solusi untuk menstabilkan rupiah.
Sebelumnya pemerintah membuat kebijakan bebas visa bagi turis asing, namun menurutnya hal itu tak berdampak pada rupiah. "Yang kita khawatirkan nanti kalau asing rame-rame keluar dari pasar kita lalu mereka melihat ada apa saja yang bisa mengguncang pasarnya, maka itu dampaknya saya perkirakan akan lebih besar pada rupiah kita bisa menukik tajam," jelasnya.