REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian Harjanto mengatakan, banyaknya perusahaan tekstil yang tutup di kuartal I/2015 disebabkan oleh kurangnya daya saing dan mahalnya harga listrik. Penyebabnya sebagian besar industri tekstil di hulu menggunakan listrik dalam jumlah banyak.
"Saya belum dapet informasi apakah perusahaan tekstil yang tutup itu termasuk yang pindah ke Vietnam, tapi memang saat ini secara global pangsa pasarnya sedang lesu," kata Harjanto kepada Republika, Jumat (8/5).
Harjanto mengakui bahwa, selama ini permasalahan di industri hilir adalah terkait harga energi, terutama listrik yang masih mahal. Sementara, di Indonesia belum ada industri petrokimia yang terintegrasi sehingga daya saing di sektor hulu lemah.
Harjanto mengatakan, pemerintah sedang melakukan kajian terkait tarif listrik bagi industri. Menurutnya, setiap industri memiliki penggunaan listrik yang berbeda. Dengan demikian, pemerintah juga perlu melakukan kajian dengan seksama agar kebijakan yang dikeluarkan bisa saling menguntungkan.
"Untuk tekstil, mungkin bisa diberikan kelonggaran atau diskon pada jam tertentu sehingga mereka bisa mengatur produksinya," ujar Harjanto.
Sementara itu, industri tekstil di hilir banyak dibanjiri dengan produk-produk impor karena harganya lebih murah. Terkait hal tersebut, pemerintah pernah mengusulkan pengenaan PPN namun tidak berjalan efektif.
Untuk industri hilir, sampai saat ini pemerintah memang belum mengusulkan solusi lain. Harjanto mengatakan, peningkatan daya saing industri dalam negeri tidak bisa hanya dilakukan oleh Kementerian Perindustrian saja, namun juga perlu ada dukungan dari kementerian/lembaga lainnya.