Rabu 06 May 2015 04:08 WIB

Kebijakan Pemerintah Dituding Biang Keladi Turunnya Pertumbuhan Ekonomi

Rep: C84/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pertumbuhan ekonomi (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Pertumbuhan ekonomi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden RI membuat masyarakat menaruh harapan besar bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta itu mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui fenomena "Jokowi Effect".

Namun, pada kenyataannya di lapangan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2015 hanya mencapai angka 4,71 persen. Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan dalam ekonomi tidak ada yang namanya 'efek-efek'an seperti itu.

"Memang ekonomi ada efek-efekan, ekonomi itu by proses, kalau proses atau kalkulasinya enggak bener maka pengelolaannya jadi tidak pas," ujarnya kepada ROL, Selasa (5/5).

Mudahnya begini, kata dia, dunia global baru alami pelemahan dimana investasi pasti wait and see karena adanya transisi kepemimpinan, yang membuat semua sektor pasti terganggu karena harus menunggu APBNP.

Enny menambahkan, semestinya kalau sudah tahu kondisinya begitu, konsumsi jangan diganggu. Tetapi lanjut Enny yang terjadi justru sebaliknya dimana menurutnya pemerintah malah membuat kebijakan-kebijakan yang terus menekan daya beli masyarakat seperti kenaikan BBM, TDL, dan elpiji, sementara untuk meringankan beban usaha hampir tidak ada ditambah lagi dengan maraknya pungutan liar. Ia menilai hal ini sudah pasti akan membuat daya beli masyarakat terus menurun.

"Karena kebijakan yang lain belum efektif dan konsumsi masyarakat terganggu maka pertumbuhan ekonomi menjadi dibawah target yang diinginkan yakni lima persen," lanjutnya.

Ia menambahkan, jika pemerintah belum bisa melakukan stimulus, investasi masih menunggu, ekspor impor juga masih lemah karena perekonomian global masih lesu maka yang terjadi pertumbuhan akan berada di bawah angka yang diharapkan.

"Perkiraan kita  4,9 persen lah tapi kok ini 4,7 persen kan cukup dalam, artinya distorsi pemerintah terhadap konsumsi masyarakat ini masih cukup berat," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement