REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo menunjukkan kedekatan dengan Presiden China Xi Jinping dalam perhelatan Konferensi Asia Afrika di Bandung.
Ekonom Drajat Wibowo mengatakan, saat ini Cina sedang menyiapkan diri untuk mengambil alih dominasi Amerika Serikat di Asia. Selain itu, Cina sekarang menurunkan terget pertumbuhan ekonomi menjadi 7 persen untuk demi pertumbuhan jangka panjang yang tergantung energi dan mineral.
Saat ini, Cina telah menandatangani suplai gas dengan Rusia di Siberia. Cina juga melakukan perjanjian dengan Pakistan dengan nilai investasi sebesar 46 dolar AS.
Dengan perjanjian tersebut, koridor Pakistan akan menguraingi nilai strategis dari jalur Selat Malaka karena Cina bisa langsung masuk Afrika. Cina diuntungkan dengan banyaknya sumber mineral di Afrika.
"Buat Indonesia, kemesraan Presiden Jokowi dengan Presiden Xi Jinping itu pasti akan menimbulkan alarm di AS. Sehingga sekarang kita harus melihat kepentingan terbesar Indonesia itu apa," ujar Drajat saat dihubungi Republika, Jumat (24/4).
Drajat mengaku sepakat dengan langkah Presiden Jokowi untuk lebih dekat dengan China, tapi juga mewanti-wanti untuk pandai menempatkan diri dan menyeimbangkan. Karena faktanya investasi Cina di Pakistan dan beberapa negara lain tidak semuanya terealisasi. Perjanjian dengan Pakistan senilai 46 miliar dolar AS tersebut sudah dibahas 10 tahun lalu tapi realisasi rendah.
Sementara Indonesia saat ini dijanjikan pinjaman dua bank dari China senilai total 50 miliar dolar AS, namun realiasinya dinilai tidak mudah. "Kalau tidak pandai-pandai ngatur ritme mungkin nanti negara-negara yang banyak kerja sama seperti Jepang mungkin akan lari dari kita. Padahal, sepertiga utang Indonesia itu dari Jepang dalam bentuk yen," imbuhnya.
Dia berharap Presiden Jokowi lebih intens bekerja sama dengan Rusia supaya seimbang dengan AS, Eropa, China dan Jepang. PR pemerintah adalah bagaimana caranya AS dan Éropa tidak merasa Indonesia seperti lari dari mereka. Menurutnya, itu salah besar jika dilakukan.