REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perhelatan World Economic Forum (WEF) on East Asia hari kedua di Jakarta membahas visi jangka panjang diperlukan untuk mengurangi fluktuasi harga dan pasokan energi di Asia. Pembahasan tersebut di tengah penurunan harga minyak dunia dan ketidakpastian kesepakatan untuk mencabut sanksi yang dikenakan pada Iran.
Presiden dan Group CEO Sapura Kencana Petroleum Malaysia Shahril Syamsuddin mengatakan, kondisi industri saat ini adalah siklus dimana harga minyak akan naik dan turun. Tapi dalam jangka panjang, permintaan tumbuh dan selama dua sampai tiga tahun ke depan harga akan kembali ke tingkat optimal.
Presiden Chevron Asia Pacific Exploration and Production Company Chevron Corporation Singapura Melody Boone Meyer mengatakan, volatilitas harga ekstrim tidak jarang terjadi di industri energi. Meskipun ada surplus pasokan sekarang, mau tidak mau akan ada penurunan yang terjadi.
“Kami mengambil pandangan jangka panjang harga. Investasi kami dalam pengembangan minyak dan gas jangka panjang sehingga kita harus mengambil pandangan jangka panjang. Kami tetap percaya bahwa permintaan global untuk minyak dan gas akan terus tumbuh,” ujar Melody Boone Meyer di acara WEF 2015 di Hotel Shangrila Jakarta, Selasa (21/4).
Asia diperkirakan akan menjadi net importir minyak dalam beberapa dekade mendatang pertumbuhan konsumsi yang terus berkembang. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia Sudirman Said mengatakan, harga minyak yang rendah telah memungkinkan pemerintah Indonesia untuk mengurangi subsidi BBM. Negara juga mencari alternatif di luar bahan bakar fosil dari panas bumi, tenaga air dan tenaga surya untuk menstabilkan masa depan energi terbarukan.
"Ini adalah waktu untuk berpikir tentang pencampuran energi lebih dalam energi terbarukan. Ya, kami menurun dalam hal bahan bakar, namun sebenarnya Indonesia memiliki banyak pilihan dalam hal energi terbarukan. Itu adalah arah baru yang kita harus mengatur di masa depan,” ujar Sudirman Said.