Selasa 07 Apr 2015 14:26 WIB

Miris, Jokowi Bentuk Struktur Pasar yang Gagal

Rep: Laeny Sulistyawati / Red: Ilham
Presiden Jokowi.
Foto: Fahd Pahdepie
Presiden Jokowi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dari IPMI International Business School, Jimmy M Rifai Gani menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo membentuk struktur pasar yang gagal (market failure) di dalam pasar komoditas domestik.

Menurutnya, seharusnya pemerintah menghindari sistem ekonomi liberal, dimana semua harga ditentukan kekuatan pasar. Namun, kata dia, pemerintah Indonesia saat ini masih membiarkan, bahkan membentuk struktur pasar yang gagal (market failure) di dalam pasar masyarakat Indonesia sendiri. 

Contoh dari market failure di Indonesia yaitu masih adanya pasar monopoli dan pasar oligopoli dalam komoditas seperti beras, gula, atau cabai. “Akhirnya, harga sulit dikendalikan. Nah, harga komoditas ini ditentukan oleh kegagalan pasar,” ujarnya di Jakarta, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (7/4).

Terakhir, pemerintah mengurangi beban subsidi energi dan menyerahkan mekanisme pasar dalam penentuan harga listrik. Artinya, naik-turunnya tarif listrik per 1 Mei 2015 akan mengacu pada kurs rupiah terhadap dolar AS, harga minyak mentah Indonesia, dan inflasi. 

Jika pemerintah membuat kebijakan dengan mengacu pada harga pasar yang masih belum stabil, Jimmy khawatir rakyat akan merasakan kenaikan harga berbagai komoditas di saat nilai tukar rupiah semakin melemah. Atau lonjakan harga komoditas terjadi saat harga minyak (ICP) kembali normal. 

Menurut dia, ketika harga minyak dunia anjlok hingga di bawah 50 dolar AS per barel, pemerintah memang memiliki kelonggaran fiskal hingga Rp 92 triliun. Dana tersebut dialokasikan ke sejumlah proyek pembangunan seperti lima proyek Mass Rapid Transit (MRT), tol atas laut, 20 stadion kelas dunia, jatah anggaran pembangunan untuk 65.714 desa, 16 bandara, sembilan proyek rel kereta dan lain-lain.

“Namun, bagaimana jika uang penghematan subsidi itu sudah dialokasikan sementara harga minyak dunia kembali normal? Jangan main-main, karena kenaikan harga minyak ini berdampak besar, terutama rakyat yang masih di bawah garis kemiskinan,” katanya.

Oleh sebab itu, kelonggaran fiskal seharusnya dapat dialihkan ke sesuatu yang berdampak langsung terhadap rakyat. Pria yang menjabat sebagai Executive & CEO IPMI itu menilai para teknokrat ekonomi negara perlu mengambil langkah-langkah fundamental perekonomian domestik. 

Dia juga menegaskan, langkah jangka pendek seperti subsidi masih diperlukan untuk mendukung fundamental ekonomi Indonesia dalam jangka panjang. Lebih lanjut, Jimmy menilai, kebijakan publik pemerintah Joko Widodo memang seringkali menimbulkan polemik di masyarakat. 

“Misalnya, kebijakan uang muka pembelian kendaraan bermotor pejabat negara atau penunjukan Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN),” katanya. Jimmy berharap persoalan subsidi energi ini dapat diselesaikan dengan kebijakan yang tidak menggerus dukungan publik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement