REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia menilai penggunaan transaksi dalam negeri dengan rupiah akan mendorong penguatan rupiah terhadap dolar AS. Selama ini, masih terjadi transaksi dalam negeri yang menggunakan dolar AS.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan, stabilisasi nilai tukar rupiah bisa dilakukan dengan mengurangi transaksi di dalam negeri yang menggunakan dolar.
"Hanya negara ini yang transaksi di dalam negeri bayarnya pakai dolar. Negara lain, seperti Thailand, India, dan Jepang tidak ada," ujar Mirza dalam seminar Sinergi Fiskal dan Moneter di Era Jokowinomics di Universitas Paramadina, Senin (30/3).
Menurut Mirza, transaksi dengan dolar di dalam negeri dari turis tidak terlalu besar. Justru transaksi seperti ongkos sandar pesawat, ongkos sandar kapal atau sewa gedung dengan dolar yang lebih besar.
"Kalau suatu saat neraca ekspor impor surplus, tapi karena transksi dalam negeri pakai dolar masih ada permintaan dolar dalam negeri. Ada Undang-Undang No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang harus dihormati, tapi harus dibantu semua aparat," imbuhnya.
Mirza menjelaskan, kondisi yang terjadi saat ini bukan pelemahan rupiah melainkan penguatan dolar AS. Sebab, kondisi saat ini berbeda dengan 1998, 2005 dan 2008, dimana saat itu rupiah melemah terhadap semua mata uang.
Dia menerangkan, pada 2014 mata uang euro melemah 13 persen terhadap dolar AS, sedangkan tahun ini 10 persen year to date. Denmark tahun lalu melemah 13 persen terhadap dolar AS, tahun ini melemah 10,7 persen ytd. Swedia tahun lalu melemah 20 persen melemah terhadap dolar AS, tahun ini 9,8 persen ytd.
Norwegia tahun lalu melemah 21,5 persen, tahun ini 5 persen ytd. Australia dolar tahun lalu melemah 8 persen, tahun ini 4 persen ytd.
Sedangkan, Brasil tahun lalu melemah 12 persen terhadap dolar AS, tahun ini 19 persen ytd. Turki tahun lalu melemah 9 persen, tahun ini 11,7 persen ytd. Malaysia tahun lalu melemah 6,8 persen, tahun ini 4,7 persen ytd.
"Negara-negara itu melemah lebih dalam ketimbang rupiah. Rupiah tahun lalu melemah 1,8 persen, tahun ini 5 persen. Yang terjadi bukan pelemahan rupiah tapi penguatan dolar," jelasnya.
Meski demikian, ada beberapa negara yang tidak melemah terhadap dolar AS. Seperti Filipina yang tahun lalu melemah 0,7 persen, tahun ini stabil 0,0 persen ytd. India tahun lalu melemah 2 persen, tahun ini menguat (apresiasi) 0,6 persen ytd. Serta Thailand yang tahun lalu melemah 0,3 persen, tahun ini menguat 1,1 persen ytd.
Di samping itu, Mirza juga memaparkan kondisi yang terjadi di dunia yang belum pernah dialami, yaitu stimulus moneter yang besar dari AS, Eropa dan Jepang. Dimana suku bunga diturunkan sampai nol persen, bahkan di Eropa sampai negatif.
Menurutnya, fenomena suku bunga rendah di AS sudah pernah terjadi saat pengeboman WTC pada 2001, dimana suku bunga diturunkan dari 5 persen menjadi 1 persen. Kemudaian dinaikkan lagi pada 2004 menjadi 5 persen, dan pada krisis 2008 diturunkan lagi menjadi 0,25 persen.