Sabtu 28 Mar 2015 10:00 WIB

Jangan Paksakan Akad Musyarakah

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Satya Festiani
Petugas melayani nasabah di salah satu kantor cabang Bank Syariah Mandiri, Jakarta, Jumat (13/2).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas melayani nasabah di salah satu kantor cabang Bank Syariah Mandiri, Jakarta, Jumat (13/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan akad bagi hasil seperti musyarakah dan mudharabah dinilai terlalu berisiko untuk keuangan syariah Indonesia yang masih muda. Meski penggunaan akad ini oleh industri keuangan syariah sudah 39 persen.

Ketua Umum Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo) Yuslam Fauzi mengatakan, akad murabahah dipakai di dunia sebagai produk islam dan secara fikih pun boleh.

Dua dekade berjalan, industri keuangan syariah, terutama perbankan syariah, relatif baru dimulai. Penggunaan akad murabahah tidak mengapa karena risikonya terkendali walau pendapatannya pun masih kecil (low risk low return).

Kalau masih muda sudah didorong menggunakan musyarakah mudharabah yang risikonya lebih tinggi, pengelolaannya lebih sulit, dan lebih  butuh SDM, tutur Yuslam, justru akan mendorong industri pada risiko lebih tinggi.

''Bisnis berisiko tinggi memang menjanjikan return tinggi, tapi bagi  industri yang muda, itu tidak bijak,'' ungkap mantan Direktur Utama Bank Syariah Mandiri ini, Kamis (26/3).

Menurutnya, biarkan industri perbankan syariah mengelola risiko sesuai kemampuan masing- masing. Kalau belum siap menggunakan musyarakah dan mudharabah, jangan didorong-dorong.

Biarkan industri mengukur waktu kesiapan sendiri. ''Toh murabahah juga syariah. Bagi hasil memang salah satu ciri syariah dan jual beli (murabahah) juga masuk di dalamnya,'' kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement