REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mendekati habisnya kontrak Blok Mahakam pada 2017 mendatang, pemerintah didesak agar tidak lengah dalam menentukan porsi hak kelola bagi Pertamina. Terlebih, mengingat operator eksisting saat ini, Total dan Inpex, masih ingin masuk ke Blok Mahakam untuk tetap mengelola.
Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara mengatakan, PT Pertamina (Persero) bisa saja menggandeng kontraktor lain setelah mengambil 100 persen saham Blok Mahakam. Hanya saja, menurut dia, kontraktor yang digandeng tidak perlu mendapat porsi yang besar, dan harus dilakukan secara business to business. Kontraktor lain ini, bisa saja termasuk Total atau Inpex.
“Harus ada akuisisi cadangan terbukti untuk tarifnya. Atau berdasarkan nilai akuisisi itu Pertamina misalnya mendapat cadangan di tempat lain yang dimiliki Total, istilahnya reserve swap, tukar-menukar cadangan,” jelas Marwan, ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (27/3).
Menurut Marwan, pemberian saham ke Total atau Inpex nantinya harus berbeda dari pemberikan 10 persen saham untuk daerah. Sebab, menurut dia, para kontraktor masih melihak Blok Mahakam sangat menguntungkan. Artinya, kata dia, kalau keuntungan pemerintah yang didapat dari Blok Mahakam berkurang, seharusnya ada keuntungan dari blok lain yang dimiliki kontraktor yang bekerjasama mengelola Blok Mahakam.
“Kalau bicara saham kan ngomongin untung. Ngapain juga Total dan Inpex ini begitu ngotot untuk dapat perpanjangan? Karena ini masih menguntungkan. Tapi, oke kita untungnya di sini (Mahakam) berkurang, asal dapat untung di tempat lain. Makanya harus ada itungan bisnis yang jelas, transparan,” ujar Marwan.
Berkaca dari pengalaman West Madura Offshore (WMO), Marwan mewanti-wanti pemerintah Joko Widodo tidak mengulang kesalahan sama, lantaran tidak adanya transparansi dalam pembagian saham dengan kontraktor. “Jangan seperti kasus WMO, Kodeco mendapat 20 persen padahal bayarnya cuma 50 juta dollar AS. Padahal harusnya 300 juta dollar AS,” kata Marwan.
Pada saat itu, lanjut Marwan, pihaknya sudah melaporkan hal tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tapi tidak ada yang mengusut. “Begitulah kelakuan yang dijalankan oleh pemerintah sebelumnya. Ini jangan sampai terjadi lagi. Kita mau transparan, tidak dirugikan. Kita harus mandiri berdaulat, dan BUMN kita ini (Pertamina) harus besar,” lanjut Marwan.