REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Indonesia khawatir melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS secara terus-menerus bisa membuat pelaku industri farmasi bangkrut.
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal GP Farmasi Indonesia Kendrariadi Suhanda, perusahaan bisa pailit jika tidak menaikkan harga jual obat, apalagi selama lebih dari tiga bulan.
“Sebab, bahan baku obat yang diimpor perusahaan farmasi Indonesia sangat besar yaitu di kisaran 85-90 persen. Mayoritas didatangkan dari India dan Cina, sisanya dari Benua Eropa,” katanya, di Jakarta, Kamis (26/3).
Dia menjelaskan, transaksi impor bahan baku obat ini menggunakan mata uang dolar AS. Ketika rupiah melemah, otomatis harga bahan baku naik. Perusahaan farmasi tidak punya pilihan lain dan terpaksa ikut menaikkan harga jual obat. Namun, kalau pelaku industri obat masih punya stok bahan baku selama tiga sampai empat bulan, mereka masih bisa bertahan dan menjualnya dengan harga lama.
“Namun, secara pribadi saya ingin perusahaan farmasi tidak menaikkan harga jual obat dengan tujuan untuk memperluas pasar,” ujarnya.