REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mulai mewajibkan pemanfaatan biofuel dengan porsi 15 persen. Kebijakan ini dijalankan sebagai salah satu upaya untuk menekan impor BBM dan meningkatkan produksi Crude Palm Oil atau minyak kelapa sawit.
"Ini fundamental change, kalo kita capai 15 persen saja, ketergantungan impor akan hemat, kita akan bertumpu kemampuan sendiri menghasilkan fuel. Employment akan naik, demand terhadap porsi pangan naik, pajak juga naik," jelas Menteri ESDM, Sudirman Said, saat meresmikan mandatori bahan bakar nabati 15 persen, Senin (23/3).
Sudirman juga menjelaskan, mandatory ini akan berdampak baik pada serapan produksi CPO dalam negeri, dengan dampak akhirnya akan menekan impor BBM sebesar 1,6 juta kilo liter BBM.
"Implikasi cukup luas baik dari segi serapan market, pasar biofuel CPO di dalam negeri. Ekspor CPO, akan diisukan juga terhadap penguatan rupiah," ujar Sudirman.
Sebelumnya, pemerintah merilis empat paket kebijakan untuk menekan depresiasi rupiah. Salah satunya, pemanfaatan biofuel akan ditingkatkan menjadi 15 persen. Langkah ini diambil untuk menyelamatkan rupiah yang masih terpuruk. Menteri ESDM Sudirman Said menjelaskan, pemangkasan impor BBM ini akan berdampak kepada penghematan devisa, dengan mengurangi impor BBM hingga 1,6 miliar dolar AS.
Sudirman juga menambahkan, Pertamina selalu stakeholder dan pelaksana di lapangan akan dipertemukan dengan pelaku usaha sawit untuk melakukan persiapan.
Sudirman juga menyatakan bahwa pihaknya akan segera berkomunikasi dengan para pelaku usaha di bidang biofuel, untuk memberikan waktu bagi pelaku usaha melakukan persiapan.
Selain itu, Sudirman menyebut bahwa pasar kelapa sawit akan bergairah dengan kebijakan ini. Setidaknya, 3,5 juta ton sawit akan terserap untuk pengolahan biofuel. "Mau tidak mau akan tumbuhkan demand baru," ujarnya.