Ahad 22 Mar 2015 21:36 WIB

Jepang Tegaskan tak Ada Perang Mata Uang

Rep: Elba Damhuri/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Bank of Japan (BOJ) Governor Haruhiko Kuroda walks into a news conference at the BOJ headquarters in Tokyo October 7, 2014.
Foto: Reuters/Yuya Shino
Bank of Japan (BOJ) Governor Haruhiko Kuroda walks into a news conference at the BOJ headquarters in Tokyo October 7, 2014.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Gubernur Bank Sentral Jepang Haruhiko Kuroda menolak pandangan program stimulus moneter secara masif memicu perang mata uang. Ia menegaskan kebijakan yang diambil negara-negara maju itu tidak ditujukan untuk mendevaluasi mata uang mereka.

Bank sentral di seluruh dunia, termasuk negara-negara di Asia seperti India dan Korea Selatan, kata Kuroda, telah mengikuti jejak Jepang dan Uni Eropa dalam melonggarkan kebijakan moneter. Tujuannya, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi terutama mengurangi pengangguran dan menaikkan pendapatan.

Kuroda mengatakan dirinya tidak melihat tanda ketegangan yang bergolak antara negara-negara maju dan sedang tumbuh terkait kebijakan mata uang. "Saya tidak melihat adanya perang mata uang di dunia sekarang ini," kata Kuroda seperti dikutip Reuters (22/3).

Kebijakan pelonggaran kuantitatif oleh Federal Reserve (bank sentral AS), bank sentral Jepang (BoJ), dan Bank Sentral Eropa (ECB) ditujukan untuk mencapai target stabilitas harga, bukan melemahkan nilai mata uang. Kebijakan ini memang mendorong terjadinya pelemahan mata uang masing-masing negara, yang diikuti penurunan suku bunga pesaing.

Jepang mendapat perlawanan dari Uni Eropa setelah menggelontorkan uang ratusan miliar dolar AS untuk program pelonggaran kuantitatif. ECB pun mengambil langkah yang sama dengan mengadopsi kebijakan "quantitative easing".

Kuroda menyatakan bank-bank sentral termasuk BoJ dapat belajar banyak dari the Fed yang sudah keluar dari kebijakan moneter tidak-konvensional. Ia menekankan BoJ tetap mempertahankan stimulus besarnya dan bahkan memperluas lebih jauh.

"Kami memiliki cukup banyak cara untuk memerangi deflasi dan mencapai target stabilitas harga," kata Kuroda. BoJ mengadopsi program pelonggaran kuantitatif pada April 2013 dan memperluasnya pada Oktober 2014. Program stimulus ini diharapkan dapat mengangkat inflasi menjadi 2 persen, di mana selama ini Jepang selalu berada di zona deflasi. Pada Januari 2015, inflasi Jepang hanya 0,2 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement