REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Enam tahun setelah krisis finansial menerpa ekonomi global, Dana Moneter Internasional (IMF) menilai laju pemulihan masih berjalan lambat. Pemulihan ekonomi global pun, kata Direktur Pelaksana IMF, Christine Lagarde, bersifat jangka pendek dan rapuh.
IMF menyatakan sudah mengupas tuntas perkiraan pertumbuhan ekonomi global sejak Oktober 2014 yang mendapatkan laju yang belum bisa berlari cepat. "Meskipun pertumbuhan ekonomi global 3,5 persen pada tahun ini dan 3,7 persen pada 2015 namun realisasinya masih di bawah itu," kata Lagarde saat mengunjungi India seperti dikutip dari laman IMF, Selasa (17/3).
Turunnya harga minyak dunia dan makin kuatnya perekonomian Amerika Serikat, menurut mantan menteri keuangan Prancis itu, belum berdampak besar bagi perbaikan ekonomi. Malah di negara-negara maju perekonomian mereka masih berjibaku pada wairsan "tinggi, tinggi" dan "rendah, rendah", dalam pengertian warisan pengangguran tinggi dan utang tinggi versus pertumbuhan rendah dan inflasi rendah.
Perusahaan-perusahaan pun menahan diri dalam menginvestasikan uang mereka. Bahkan, kata Lagarde, sejumlah perusahaan memotong anggaran investasinya, sementara rumah tangga mengurangi konsumsi sambil menunggu pemulihan ekonomi berjalan lebih cepat. Kondisi ini, IMF menegaskan berbahaya bagi perekonomian global.
Memang, Lagarde mengakui AS dan Inggris sudah menunjukkan perbaikan ekonomi, namun itu tidak diikuti negara-negara maju lainnya. Di Zona Eropa dan Jepang, kata dia, pertumbuhan masih rendah. Begitu pun yang terjadi di negara-negara berkembang seperti Cina yang mengalami perlambatan paling terasa. secara berkesinambungan.
Rusia dan Brasil, sambung Lagarde, malah menuju jurang resesi jika tidak segera melakukan reformasi struktural. India menunjukkan keadaan berbeda dengan laju pertumbuhan lebih menjanjikan dibandingkan Cina dan negara-negara yang sedang tumbuh lainnya.
Perlambatan ekonomi ikut diwarnai perang mata uang baik antarnegara maju maupun negara maju versus negara-negara yang sedang tumbuh. AS dan Zona Eropa masih menerapkan kebijakan uang longgar untuk memperbaiki ekonomi domestik mereka. Hal sama terus dilakukan Cina, Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan negara-negara berkembang lainnya untuk mendongkrak daya saing produk ekspor mereka.