REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana penurunan tarif listrik harus dilihat dari beberapa hal yang mendasar. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan, pemerintah seharusnya jangan menjadikan listrik sebagai sektor yang harus memberikan deviden bagi negara. Akan tetapi, listrik harus dijadikan sebagai agent of development, yang bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.
"Listrik jangan dijadikan sebagai komoditi yang dikaitkan dengan kurs dolar dan harga minyak dunia," kata Ade kepada Republika Online, Senin (9/3).
Menurut Ade, harga listrik yang mahal dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan iklim investasi di Indonesia. Pasalnya, tarif listrik memberikan kontribusi cukup besar pada biaya produksi. Di industri tekstil tarif listrik mengambil porsi sekitar 27 persen dari ongkos produksi. Apalagi di sektor tekstil listrik digunakan untuk produksi selama 24 jam.
Selama ini, listrik di Indonesia bagi industri dikenakan tarif sekitar 11 cent dolar AS per KwH. Sementara di negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia hanya 9 cent dolar per KwH, dan di Vietnam sekitar 6 cent dolar AS per KwH.
"Tarif listrik di Indonesia paling mahal, bahkan katanya mau dinaikin lagi menjadi 13 cent dolar AS per KwH, ini merupakan suatu kezoliman bagi industri," kata Ade.
Ade mengatakan, pembangunan listrik 35 ribu mw yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo bisa saja membantu pemerataan listrik di Tanah Air. Akan tetapi, hal tersebut tidak menjadi jaminan harga listrik bisa turun. Pasalnya, pemerintah harus jeli melihat energi yang digunakan untuk suplai listrik tersebut.
Apabila pembangunan listrik tersebut menggunakan renewable energy, maka harga listrik tetap saja mahal karena investasi dan peralatannya memakan biaya tinggi. Jenis energi yang paling murah yakni batu bara dan nuklir. Menurut Ade harga listrik di Vietnam bisa murah karena negara tersebut membangun enam pembangkit listrik yang menggunakan energi nuklir.