REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Mulai menurunnya harga rumput laut bukan hanya meresahkan para petani, para pelaku industri yang menggunakan bahan baku rumput laut pun cukup gelisah. Mereka takut, hal ini bisa membuat para petani beralih dari produksi rumput laut.
Ketua Asosiasi industri rumput laut (Astruli) Soerianto Kusnowirjono mengatakan, jatuhnya harga rumput laut akan berdampak besar bagi industri lokal yang mengolah rumput laut. Untuk itu perlu patokan harga minimal agar semua pembeli rumput laut baik dari dalam maupun luar negeri bisa membeli rumput laut dengan harga minimal.
"Kalau terus dibiarkan harga semakin jatuh, ke depan petani ditakutkan enggan melakukan budi daya rumput laut. Hal ini akan sangat merugikan sektor industri dalam negeri yang mendapatkan pasokan rumput laut dari para petani lokal," ujar Soerianto, Senin (9/3).
Sejauh ini, dua jenis harga rumput laut sedang terjun jauh yaitu Kotoni dan Glacilaria. Kotoni yang biasa dijual petani dengan harga Rp 8.000-9.000 per kg saat ini banyak dibeli tengkulak berkisar Rp 6.000-7.000 per kg. Sementara Glacilaria berada pada harga Rp 4.000-5.000 per kg, yang normalnya bisa dibeli dengan harga Rp 6.000-7.000 per kg.
Melihat hal ini, Soerianto mengharapkan pemerintah segera mengambil sikap untuk melakukan penetapan harga minimal rumput laut. Hal ini perlu dilakukan agar setiap pembeli baik dari dalam maupun luar negeri tidak seenaknya menahan dan mempermainkan harga yang membuat nilai tukar rumput laut melemah.
Terlebih dengan akan diadakannya bea ekspor rumput laut, pembeli dari luar negeri ditakutkan enggan menggelontorkan uang untuk rumput laut Indonesia. Hal tersebut jelas akan membuat jumlah rumput laut yang diproduksi petani akan semakin menumpuk. Dan akhirnya harga rumput laut bakal menurun. "Belum ada bea ekspor saja harga rumput laut saat ini lesu apalagi nanti," lanjut dia.
Sejauh ini, Indonesia merupakan salah satu penghasil rumput laut terbanyak dengan 400 ribu ton per tahun. Dari hasil ini 250 ribu ton berhasil diserap oleh industri lokal. Sisanya menjadi barang yang diekspor ke beberapa negara seperti Cina dan Filipina. Meski bea ekspor ditakutkan membuat jumlah rumput laut bertumpuk karena minimnya pembeli dari pihak luar, Soerianto meyakinkan pihaknya akan semaksimal mungkin menyerap produksi rumput laut lokal.