REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena batu akik yang sedang 'booming' di tanah air dikabarkan membuat pemerintah akan mengenakan pajak terhadap barang yang dikategorikan sebagai kelompok barang-barang mewah seperti permata tersebut.
Namun, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro menegaskan batu akik bukan lah barang yang termasuk dalam objek potensi pajak. Ia menambahkan untuk saat ini tarif Pajak penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) masih sama dengan yang berlaku sebelumnya sehingga tidak ada perluasan objek atau kenaikan dari PPnBM tersebut termasuk untuk batu akik.
"Mau batu akik kek atau batu kali, enggak ada perluasan. Yang ada pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 sebesar lima persen," ujarnya dalam obrolan santai dengan wartawan di Pers Room Kemenkeu, Jakarta, pada Jumat (6/3).
Hal serupa juga dikatakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Direktur Peraturan Perpajakan I Irawan beberapa waktu lalu. Ia mengatakan cukup kesulitan untuk mengenakan pajak terhadap batu akik tersebut.
Irawan menyatakan dalam rencana dalam revisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253 Tahun 2008 yang juga merupakan ketentuan dari pasal 22 Undang-undang Pajak tentang Wajib Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang tergolong sangat mewah, batu akik bisa saja dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) 22.
Namun, ia menambahkan hanya untuk pembeli batu akik yang harganya berkisar di atas Rp 100 juta. Ia meyakini jika ada orang yang membeli batu akik di atas Rp 100 juta, maka orang tersebut adalah orang yang sangat kaya.
Selain itu, penjual batu akik dengan omzet minimal Rp 4,8 triliun per tahun juga diwajibkan memungut pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen dari pembelinya.