REPUBLIKA.CO.ID, MANADO -- Pengamat ekonomi Universitas Sam Ratulangi, Dr Joubert Maramis mengatakan pemerintah harus menambah depo penyimpanan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia. Sehingga aman dalam waktu yang lama, meskipun harga pasar berfluktuasi.
"Pemerintah harus menambah depo penyimpanan BBM di seluruh Indonesia, dengan kapasitas dua atau tiga kali lipat dari yang ada saat ini, jika ingin aman BBM di masa depan," kata Joubert di Manado, Rabu (4/3).
Ia mengatakan naik turunnya harga BBM yang sangat cepat saat ini merupakan konsekuensi karena pemerintah menerapkan sistem mekanisme pasar. Dalam mekanisme pasar dikenal sistem logistik atau persediaan, yaitu first in first out (FIFO).
"Jadi BBM mengikuti harga pasar perolehan saat ini. Ketika harga rendah waktu dibeli maka dijual dengan harga tersebut. Sehingga memang mekanisme subsidi sudah tidak ada lagi. Harga bisa naik dan bisa turun seketika," tuturnya.
Dia mengatakan, yang jadi masalah jika terjadi krisis minyak atau melemahnya kurs rupiah akan menyebabkan impor menjadi mahal. Artinya, kata dia, kalau hal tersebut terjadi, apalagi dengan ekstrim, bisa jadi harga BBM menjadi dua atau tiga kali dari harga saat ini.
"Ini konsekuensi dari mekanisme pasar. Jadi, mau tidak mau masyarakat harus menyesuaikan dengan prilaku harga," jelasnya.
Untuk itu sudah saatnya pemerintah melakukan penimbunanan atau memperbesar stok BBM ketika haga pasar murah. Beli sebanyak-banyaknya, kemudian simpan sebagai cadangan untuk operasi pasar.
Namun, katanya, kebijakan saat ini sudah tepat, karena sudah tidak ada lagi subsidi. Namun yang diperkuat adalah sistem logistik dan rencana persediaan di masa depan.
"Minimal cadangan BBM untuk tiga atau empat bulan ke depan telah ada di depot-depot Pertamina," ucap dia.