REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan, pelemahan rupiah tidak berdampak secara signifikan terhadap industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Industri ini justru diuntungkan karena sebagian besar produksinya digunakan untuk pangsa pasar ekspor.
"Kita banyak melakukan transaksi dengan dolar AS, sedangkan lokal cost-nya hanya listrik dan tenaga kerja," ujar Ade di Jakarta, Rabu (4/3).
Ade mengatakan, harga listrik di Indonesia dibanderol harga paling mahal di Asia. Selama ini harga listrik selalu dipatok dengan kurs dolar AS, sehingga meskipun dari sisi ekspor diuntungkan, industri ini tetap harus membayar tagihan yang mahal.
"Kita impas, jadi fluktuasi rupiah gak berpengaruh," kata Ade.
Ade menjelaskan, kinerja ekspor industri TPT selalu menunjukkan angka yang baik. Pada 2014 ekspor TPT mencapai 12,6 miliar dolar AS, sedangkan pada 2013 hanya sekitar 12,4 miliar dolar AS. Ekspor industri TPT memang naiknya tidak banyak karena ada pasar-pasar yang masih tertutup.
Ade berharap pemerintah bisa melakukan Free Trade Agreement dengan Uni Eropa dan Turki, karena keduanya memiliki pasar ekspor yang potensial. Dengan dibukanya pasar tersebut, Ade optimistis industri TPT dapat menyumbang ekspor besar dan mendukung target pemerintah untuk meningkatkan ekspor sebesar 300 persen.