Selasa 03 Mar 2015 20:38 WIB

BPS Harus Terbuka Soal Data Deflasi Februari

Rep: C15/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Harga beras naik di Pasar Rumput, Jakarta Selatan, Senin (23/2).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Harga beras naik di Pasar Rumput, Jakarta Selatan, Senin (23/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Eko Listyanto menilai Badan Pusat Statistik harus secara gamblang menjelaskan deflasi yang terjadi pada Februari. Sebab, dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok seakan membantah deflasi yang disebutkan BPS.

"BPS harus mengkomunikasi ke publik lebih jelas, harus confidence. Jika BPS menghadirkan data tersebut harus ada pembandingnya," ujar Eko saat dihubungi Republika, Selasa (3/3) Menurut Eko deflasi yang dihitung oleh BPS tidak terjadi secara general di Indonesia.

82 kota yang menjadi sampel BPS tidak mencerminkan deflasi sesungguhnya. Sebab, menurut INDEF, inflasi pada bulan Februari memang terjadi di berbagai kota. Inflasi yang terjadi didukung dengan kenaikan harga beras yang mencapai Rp 13.000 per kilogramnya. Selain itu, kenaikan harga beras juga memicu kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya.

Eko menjelaskan sistem inflasi terjadi ketika harga beras dan volatile food (makanan dan bahan makanan) bobot kenaikan inflasinya cukup berat. Eko menyebut inflasi pada volatile food ini mencapai 0,11 persen.

"Kalaupun terjadi deflasi itu hanya kecil 0,36 persen. Faktor penentu deflasi sendiri bisa dari sektor transportasi yang dipengaruhi turunnya harga BBM," ujar Eko. Namun, Eko menilai deflasi bisa saja terjadi, dan hal tersebut bukanlah hal yang aneh. Menurut Eko trend yang terjadi pada Februari, Maret dan April nilai inflasi memang rendah.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru, bahwa indeks harga konsumen atau IHK mengalami deflasi pada bulan Februari 2015 lalu. Deflasi terjadi sebesar 0,36 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement